“Perkenalkan, namaku Kayden. Aku adalah orang yang dijodohkan oleh ayahmu.”
“Ini adalah pernikahan kita. Aku tidak ingin dia menyesal di kemudian hari.”
“Selamat juga untuk anda.. Jangan lupa, dia kalau tidur mendengkur saya berharap anda bisa bertahan pada malam pertama anda.”
“Stevia, ini sahabatku, kita satu kantor di firma.”
“Perkenalkan nama saya, Jeremiah.”
“Jeremiah.”
“Senang bertemu dengan anda.”
Penyesalan, itulah yang masih saja kupikirkan semenjak awal aku membawa kotak merah itu ke mobilku. Caelan sedang duduk di kursi belakang dengan mainannya. Dia sedang melihat ke jalanan. Begitu aku mendengar namanya, aku menancapkan gas seketika aku menyalip mobil-mobil di sekitarku dengan cepat. Entah mengapa aku tak perduli apa-apa lagi. Nafasku seketika berhenti ketika aku memikirkan namanya. Detak jantungku seketika berdegup dengan gelisah sampai aku menggigit bibirku hingga berdarah. Aku menatap jalanan dengan penuh amarah.
Untuk pertama kalinya semenjak hari itu, aku marah. Apakah seperti ini ketika perasaan marah, sedih, kecewa dan sakit menyatu menjadi satu emosi? Aku tak bisa merasakan apapun. Tatapanku begitu kosong sehingga aku tak menyadari ada sebuah truk yang hendak menabrakku. Aku menarik nafas dan membanting setir. Beruntung kita masih hidup. Aku kembali menghembuskan nafasku. Masih terasa sesak. Aku kembali menancapkan gas menuju jalanan yang ramai.
Akhirnya sampai. Firma tempat Kayden bekerja memang sangat besar. Bahkan aku harus membayar parkirnya. Aku membawa Caelan dengan menggandeng tangannya sambil membawa kotak merah tersebut.
Aku pergi menuju resepsionis dengan menanyakan. “Maaf, aku mencari suamiku, Kayden, aku ingin bertemu dengannya untuk memberikan pakaian dari rumah. Apakah dia sedang sibuk?”
“Mohon tunggu sebentar.” wanita itu menelpon kemudian menutupnya dan menghampiriku lagi. “Kantornya ada di lantai tujuh, saya akan mengantarkan anda kesana.”
Wanita itu melakukan tugasnya. Dia mengantarkanku dari lorong ke lorong lainnya. Kemudian kami sampai di sebuah ruangan pintu tertutup yang bertuliskan nama suamiku. Disana, wanita resepsionis mengetuk pintunya dan memperbolehkan kami masuk. Sudah kuduga, pria itu juga ada disana.
“Maaf, Caelan akan menunggu diluar, bisakah anda menjaganya sebentar?”
Wanita resepsionis mengangguk dan membawa Caelan ke sebuah ruangan kosong yang terletak jauh beberapa langkah dari kantor Kayden. Aku membuka pintu kaca tersebut kemudian membawa kotak merah. Lihatlah wajah Kayden, begitu terkejut. Sangat tercengang sepertinya dia tak bisa merasakan detak jantungnya telah terhenti. Aku meletakkanya tepat di meja kantor suamiku. Kemudian aku membukanya.
“Kakak ipar… kalau begitu saya pergi dulu… urusan saya sudah selesai, nanti kita bicarakan lagi nanti ya.” Jeremiah menepuk pundak Kayden.
“Aku juga ingin berbicara denganmu.” Aku menolehkan wajah. “Jeremiah.”
Jeremiah kemudian mengangguk dengan polos kemudian menutup pintu kantor. Aku merasa semuanya aman. Sudah waktunya aku mengatakannya. Tidak, kata-kata tidak akan berguna bagi Kayden. Yang kulakukan malah merobek semua surat yang ada di dalamnya kemudian melempar semua foto yang ada di dalam kotak tersebut. Melemparnya sampai membuat semua kertas bertebangan seperti bunga berguguran di ruangan kantor.
“Jadi ini mengapa kamu menikahiku?” aku mengambil salah satu foto yang menampilkan Kayden, suamiku sedang bercumbu dengan Jeremiah di klub malam.
“Mine yours, forever…”