Perkenalkan, namaku Lucianna Olivia Marchen. Papa dan mama memanggilku Lucia. Teman-temanku memanggilku Olivia. Sepupuku memanggilku Anna. sahabat-sahabatku memanggilku Luna. Aku memiliki banyak nama panggilan tetapi mereka tentu saja mengetahui siapa sebenarnya Lucianna Olivia Marchen adalah seorang teman yang supel dan ramah kepada siapapun. Semenjak kecil aku selalu dikelilingi oleh banyak teman. Aku selalu mudah dalam mencari teman. Mungkin karena aku adalah tipe orang yang terbuka dan membuat teman-temanku merasa nyaman padaku.
Semenjak aku duduk di bangku SD, aku selalu mendengarkan banyak cerita tentang permasalahan teman-temanku. Entahlah kebanyakan tentang lingkungan pertemanan atau tentang percintaan. Kebiasaan itu terus berulang sampai aku SMP. Diluar dugaan, mereka menganggapku sebagai pendengar yang baik dan mereka terus mendatangkan teman-teman baru untuk berkenalan denganku.
Aku banyak menolong mereka. Tetapi apakah mereka pernah menolongku?
Semenjak awal aku menolong mereka, memang benar aku selalu melakukannya tanpa menginginkan balasan. Tetapi ketika aku sedang bermasalah, tanpa sadar aku ingin mereka semua ada di sisiku dan menolongku. Tetapi tidak mungkin. Semenjak tahun pertamaku di SMP, aku menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang egois. Mereka tak begitu memperdulikan tentang masalah orang lain. Mereka hanya memperdulikan diri mereka sendiri tanpa melihat bahwa lawan bicara mereka sedang bermasalah. Dengan begitu, manusia akan terus meminta balas budi.
Aku yang mempelajari bahwa semua teman-teman di sekitarku adalah manusia yang egois, aku memutuskan untuk menerima mereka. Aku membiarkan mereka terbuka padaku, tetapi aku tak membiarkan diriku terbuka pada mereka.
Pertanyaannya adalah kenapa?
Kembali di awal cerita. Mereka tidak memperdulikan tentang orang lain, yang mereka perdulikan adalah diri mereka sendiri. Bagaimana mereka mendapatkan balas budi karena telah membantu orang lain.
Kenapa aku tidak membuka diriku kepada mereka?
Karena aku menganggap permasalahan yang kurasakan bukanlah urusan mereka. Itu adalah urusanku. Karena jika aku bercerita, mereka tidak akan mengerti apa yang kurasakan. Kebanyakan mereka meminta saranku bagaimana cara menghadapi teman yang menusuk dari belakang, atau teman yang menghiraukan mereka, atau tentang bagaimana mendekati anak cowok yang mereka sukai. Tidak pernah diantara mereka yang membahas tentang cerita keluarga mereka. Itu sudah jelas. Karena mereka semua berasal dari keluarga yang bahagia. Berbeda denganku.
Aku adalah anak tunggal. Seharusnya anak tunggal adalah anak yang paling disayang oleh kedua orang tuanya karena dia adalah anak mereka satu-satunya. Tetapi aku, justru karena aku adalah anak tunggal, aku adalah satu-satunya harapan mereka.
Harapan adalah kata yang paling tajam untuk menjadikan alasan mengapa kedua orang tuaku memperlakukanku seperti boneka yang bisu.
Seperti permainan rumah-rumahan, aku adalah boneka nya. Aku tidak bisa berbicara. Aku hanya akan selalu menuruti apa yang para pemain inginkan.
Aku harus berangkat ke sekolah tepat waktu.
Aku harus menjadi anak yang ramah kepada siapapun.
Aku harus menjadi yang terbaik.
Aku harus mengerjakan PR tepat waktu.
Aku harus tidur tepat jam sembilan malam.
Aku harus menjadi anak yang menuruti apa kata orang tua.
Ketika aku menanyakan ke kedua orang tuaku. Mengapa kehidupanku begitu banyak aturan yang tak kuiinginkan. Mereka akan menjawab. “Lucia, kamu adalah harapan kita satu-satunya.”
Terus menerus selama bertahun-tahun semenjak aku kecil aku menanyakan hal yang sama. Mereka juga tidak bosan menjawab jawaban yang sama pada setiap tahunnya. Bahkan ketika aku telah berusia 14 tahun, mereka masih saja menggunakan kata “harapan.” sebagai alasan pembenaran oleh perlakuan mereka untuk mengekang kebebasanku.
Pada masa itu, aku sedang berusaha mencari alasan mengapa kedua orang tuaku memperlakukanku sebagai boneka mereka. Kemudian ketika tahun kedua, aku bertemu dengan kalian. Stevia, April, Rika, dan Hana. kalianlah yang membuatku bisa menjadi siapapun yang aku inginkan. Untuk yang pertama kalinya setelah sekian lama, aku menceritakan kepada seseorang tentang perlakuan kedua orang tuaku.
Kalian berbeda dengan teman-temanku kebanyakan. Kalian tidak pernah menceritakan permasalahan kalian. Kalian selalu membicarakan hal yang tak penting. Tetapi entah mengapa itu membuatku terus merindukan keberadaan kalian. Kalian bukanlah manusia egois. Kalian hanya ingin menjadi diri sendiri. Itulah yang kuinginkan. Ketika berkenalan dengan kalian, aku memiliki firasat kita akan berteman selamanya. Ternyata memang benar, lima tahun yang lalu kita membeli Rumah Kaca untuk menjadi markas persembunyian terakhir kita. Benar-benar persahabatan yang langgeng.
Kemudian kita semua mulai terbuka satu sama lain. Aku jadi mengenal lebih dalam tentang cerita kalian. Aku mengetahui kita memiliki kesamaan. Anak remaja pada umumnya akan selalu membenci sekolah dan tak sabar untuk segera pulang ke rumah. Namun kita berbeda. Kita tidak nyaman di rumah, sehingga menganggap sekolah sebagai tempat pelarian dari tanggung jawab rumah yang kita tidak inginkan.
Sepulang sekolah, kita selalu berlama-lama di depan supermarket untuk makan es krim mochi rasa vanilla. Kemudian disanalah ketika kita selalu membicarakan hal yang tak penting.
“Jika orang tua kita tak menginginkan kita semenjak awal. Lalu mengapa mereka melahirkan kita? Terkadang aku heran dengan jalan berpikir mereka.” Tanya Stevia.
Dia memakan satu es krim mochi kemudian melahapnya satu gigitan. Sepertinya giginya selalu kuat seperti baja sehingga aku sendiri melihatnya terkadang merasa ngilu.
“Angka pernikahan di negara kita sebenarnya cukup tinggi dibandingkan negara-negara lainnya. Tentu saja keseringan ada kasus gunjingan dari masyarakat sekitar. Jika seorang pemuda itu tidak menikah, maka dia akan dikira lebih suka sesama jenis. Jika ada pemuda yang telah menikah dalam waktu yang cukup lama, mereka akan menggunjingkan latar belakang istrinya dan mempertanyakan mengapa dia mandul. Jika ada pemuda yang sudah memiliki anak, maka akan terus ditanya apakah mereka memiliki anak lagi.”
Hana adalah yang paling pintar dan memiliki daya observasi analisa yang tinggi di usianya. Kita menganggapnya jenius karena otaknya terlalu encer sampai terkadang kita bingung dengan kata-kata yang diucapkannya secara panjang lebar. Hana juga yang paling dewasa dari kita semua. Mungkin karena dia jenius dari lahir sehingga membuat perkembangan otaknya menjadi lebih maju dibandingkan anak-anak remaja pada umumnya yang hanya mementingkan betapa susahnya merawat kulit mereka. Itulah yang kupikirkan soal Hana.
“Definisi bahagia di negara kita jujur saja cukup dangkal. Kebanyakan lebih senang memamerkan kehidupan rumah tangga mereka dibandingkan dengan memamerkan betapa hebatnya mereka mendapatkan promosi di kantor mereka.
Tetapi sedikit orang yang menyadari bahwa pernikahan bukan hanya sekedar berbagi ranjang setiap malam dan merasakan ‘enak.’ nya saja. Tetapi juga memiliki tanggung jawab yang berat. Menjadi orang tua bukanlah tanggung jawab lagi, tetapi sudah menjadi pekerjaan seumur hidup untuk merawat anak dengan baik. Paling tidak mereka tidak akan terlantarkan dan menjadi sampah masyarakat.”
“Hana… wow kadang aku gak ngerti kenapa kamu bisa menyimpulkan secepat itu.” Rika kemudian mengangkat alisnya. Dia terkejut mendengar ceramah dari sahabatnya yang jenius ini.
April kemudian menggigit es krim mochi nya. Ini sudah bungkusan yang kelima, tetapi dia membeli banyak untuk melayani lidah manisnya. “Yang namanya juga Hana. tapi kita masih SMP, ngapaiin mikirin nikah sih?”
“Aku mengatakan ini karena merasa kasihan dengan kalian. Apa yang akan kalian jika kalian dijodohkan oleh orang yang tak dikenal?” Tanya Hana dengan nada serius.