“Benar-benar orang tua yang sangat baik. Sangat baik sampai aku muak untuk terus berada di tempat terkutuk itu.
Ternyata, papa telah mengirimkan kepolisian untuk melacak ponsel yang baru saja Aku gunakan untuk menelponnya. Sekejap aku menjadi buronan dalam waktu semalam. Kemudian tempat yang kupikirkan pertama kali adalah rumah kaca.”
Seketika keadaan ruang tamu menjadi hening. Mereka hanya mendengar suara serangga dari balik pepohonan yang membuat suasana menjadi lebih sunyi. Semua aktivitas malam itu seketika terhenti ketika mereka mendengar cerita Luna. Semua orang di ruangan bingung bagaimana menyampaikan pendapat mereka, karena mereka merasa tidak memiliki pengalaman seperti apa yang telah dirasakan oleh Luna.
Kedua mata Luna terlihat berkaca-kaca. Dia berusaha menahan tangisannya untuk memikirkan apa yang terjadi di klinik aborsi itu. “Aku sudah membunuh lima orang. Sebentar lagi aku akan masuk penjara. Terlebih lagi, sebelumnya aku juga dapat panggilan telepon jika Claire bersumpah untuk membuatku busuk di penjara.”
Kemudian Luna perlahan mulai meneteskan air mata. Dia menutup wajahnya dengan selimut. “Aku sudah menjadi buronan sekarang… tetapi.. Lihalah apa yang mereka lakukan kepadaku… anakku..”
Luna menangis tersedu-sedu begitu memikirkan rasa sakit yang dirasakannya ketika rahimnya dipecah menjadi darah. April yang sedang duduk di sebelahnya, merasa iba dan memeluknya dengan erat. “Semuanya sudah terjadi, kita akan melindungimu. Sekarang menangislah, karena itu yang kamu butuhkan sekarang.”
Hana mulai merasa bulu kuduknya merinding ketika dia mendengar cerita klinik aborsi. Jujur saja, dia belum menikah sehingga dia tak bisa merasakan seperti apa rasa sakit yang dirasakan oleh Luna. ajaibnya, Luna masih kuat untuk kabur dan membunuh lima orang demi menyelamatkan kepalanya. Hana ingin bertepuk tangan atas pencapaian besar sahabatnya yang nekad itu. Tetapi, sepertinya bukan waktunya untuk terkesan. Hana pada akhirnya hanya menuangkan wine ke gelasnya. Sudah botol kelima dia menghabiskannya sendirian.
“Aku akan mengambil beberapa botol lagi ke gudang.” Hana kemudian berdiri kemudian segera pergi menuju pintu gudang.
Stevia menahan bulu kuduknya yang terus merinding begitu mendengar cerita bagian klinik aborsi. Padahal, setahunya melahirkan adalah proses seorang ibu dalam menyebrangi sebuah jurang antara hidup atau mati. Tetapi pada saat itu, Stevia melahirkan Caelan dengan operasi caesar. Memang benar, sangat menyakitkan tetapi semua rasa kesakitan itu akan hilang ketika mendengar suara tangisan bayi. Stevia tak bisa membayangkan jika Caelan akan mati di kandungannya sebelum dia lahir di dunia. Sudah pasti, Stevia akan gila. Terlebih lagi menghadapi suaminya yang tak normal itu.
“Aku melihat lukamu, mereka adalah orang brengsek, apalagi suamimu.” Komentar Stevia dengan melipat tangannya karena merinding kedinginan.
Dari bantal belakang, Rika akhirnya membuka bibirnya. “Ngomong-ngomong, apa kamu sudah menghubungi Fabian?”
Luna mengingat perpisahan mereka di bandara. Fabian memberikan kartu namanya. “Tidak, dompetku hilang ketika aku baru sampai di rumah.”