“Papa menjodohkanku dengan anak kenalannya.”
Jawabanku pada saat itu membuat kalian semua melongo. Kemudian kerusuhan di meja sofa terjadi begitu saja. Aku ingat betul-betul ketika kalian membuatku malu karena teriakan kalian yang menanyakan banyak hal sekaligus.
“Hah?! Wah jadi nikah dimana?!”
“Sama siapa?”
“Dia beda berapa tahun denganmu?!!”
“Apa kita mengenalnya??!!”
“Kalian sudah bertunangan kan??!!”
“Dia kuliah dimana?!”
“Bagaimana penampilannya???!!!”
“STOP! oke satu-satu ya!”
Seketika kalian baru menyadari jika kalian sudah berteriak dengan rusuh. Aku menghela nafas panjang sebelum menjawab cerita dari para wartawan agresif ini. Kemudian aku menceritakan semuanya.
“Dia blasteran, tapi rambutnya hitam. Dia mengikuti kemiripan ayahnya. Kedua matanya coklat. Dia memberikan aura yang tenang dan dewasa. Aku tak bisa mengatakan dia tampan, hanya saja aku merasa sedikit aneh ketika bertatapan wajah dengannya.”
“Seperti apa?” Tanya Luna dengan penuh penasaran. “Apa ada fotonya?”
“Tak ada. Entahlah… seperti tatapan matanya dingin tetapi dia tersenyum.”
“Mungkin dia orang yang sulit didekati.” Kata Hana. “pelan-pelan saja mendekatinya, dengan begitu mungkin kamu akan mengenalnya lebih baik. Kalian akan menikah bukan?”
“Iya.. tiga bulan lagi.”
“Sama sepertiku…” Kata Luna dengan kesal. “Sudah menjadi tradisi orang tua ya? Akan menikahkan anaknya dengan anak orang lain setelah tiga bulan pertemuan pertama mereka.”
Pada saat itu aku sedikit merenung mendengar perkataan Luna. selama ini aku berusaha menjalankan tugasku dengan baik. Aku adalah anak yang selalu menuruti perkataan kedua orang tuanya. Tetapi apakah aku pernah berpikir untuk menjalani kehidupan pernikahanku sendiri?
Saat itu aku masih sangat muda. Mungkin karena semenjak kecil aku adalah anak yang sangat penurut sehingga aku tidak berani mengatakan tidak kepada kedua orang tuaku. Karena posisiku hanyalah anak. Seorang anak harus selalu menghormati kedua orang tuanya. Aku melakukan tugasku dengan berusaha menghormati mereka.
Kemudian Hana memburamkan lamunanku dengan bertanya. “April. Apa kamu keberatan dengan perjodohan itu?”
“April?!” panggilnya lagi.
“Heh? Iya!” Aku merespon setelah terkejut. “Keberatan? Entahlah.. Aku sendiri juga bingung bagaimana cara mengucapkannya.”
Hana kemudian menatapku dengan tatapan iba. “Jika kamu ingin kabur, bilang saja ke kita.”
“Tidak mungkin aku melakukan itu.” pada saat itu aku lupa seperti apa wajahku yang sedang menjawab pertanyaan Hana. “mereka akan kecewa padaku.”
Luna kemudian menambahkan. “Jika kamu keberatan soal perjodohan, katakan saja pada kami, setelah itu kami akan protes ke orang tuamu.”