“Memangnya aku pernah memberikanmu izin untuk keluar rumah?”
Sorot matanya berubah menjadi dingin. “Mulai sekarang, berhentilah dari pekerjaanmu itu. Aku tak ingin tetangga berbicara tentang pekerjaanmu seperti seorang pelacur.”
Pada saat itu aku berusaha meyakinkannya dengan segala bukti, perkataan, dan usaha supaya dia bisa mengerti tentangku. “Tidak bisa, aku harus mencapai cita-citaku sebagai supermodel. Itu sudah menjadi impianku semenjak SMA.”
Lane melepas dasinya kemudian melemparkannya ke sofa. Raut wajahnya menjadi lebih kesal dari sebelumnya. “Lupakan saja impian bodohmu itu. Sekarang kau adalah istriku. Jagalah martabatmu. Lakukan tugasmu.”
Kemudian Lane tersenyum sinis. “Padahal tugasmu sangat mudah. Membersihkan rumah dan melahirkan anak. Sudah kan? Jika sekali lagi kau protes, aku tak segan-segan akan mengurungmu di ruang bawah tanah.”
“Lane aku tak bisa seperti itu. Apakah kau tahu betapa sakitnya melahirkan anak? Bagaimana jika nanti aku akan meninggal ketika persalinan? Melahirkan anak itu bukan tugas yang mudah. Apakah kamu tak tahu bahwa menjadi orang tua adalah pekerjaan seumur hidup? Aku masih 22 tahun, aku belum siap melahirkan anak!”
“Sudah selesai ceramahnya?” Lane mengangkat wajah. “Apa kamu mau berakhir di ruang bawah tanah??”
Sosok pria yang lemah lembut itu seketika sirna dari ingatanku. Sesaat ketika dia menatapku dengan tatapan itu, aku tak mengenali sosok suamiku lagi. Semenjak saat itu, Lane mengurungku di rumah. Aku terpaksa membatalkan semua pemotretan bahkan membatalkan audisi untuk menjadi model pembaca eksklusif. Aku harus meninggalkan semuanya di belakang.
Ruang bawah tanah adalah ketika semuanya menjadi berantakan. Lane akan mengurungku karena aku tak berani menceramahinya. Padahal, papa dan mama akan memperlakukanku dengan adil jika aku berbeda pendapat dengan mereka. Mereka lah yang sangat mendukungku untuk menjadi model. Ketika aku dikurung, aku selalu merindukan wajah mereka.
Ingatanku masih segar ketika aku mengingat semua perlakuan yang dilakukannya padaku. Dia akan mengurungku di balik jeruji besi yang gelap. Pria itu akan mengikat kaki tanganku di sebuah belenggu besi. Suatu hari aku pernah berteriak karena kesakitan, tetapi dia malah membungkam mulutku dengan slayer. Dia mengancam, jika aku berisik lagi dia akan mencekik leherku. Perlakuannya sangat tak manusiawi. Dia memberikanku makan sehari sekali. Aku sangat dikurung di tempat itu selama berbulan-bulan. Pembantu rumah tangga, Bu Jenni selama ini adalah kaki tangan atas kejahatan suamiku.
Aku mengenal Bu Jenni adalah seorang wanita separuh baya yang sangat bersahabat. Dia baik kepadaku ketika aku pertama kali datang di rumah. Dia mengajarkanku cara memasak sup yang sesuai dengan lidah tawar suamiku. Tetapi mengapa. Aku selalu teringat wajahnya yang tersenyum ketika melihatku sedang merambat di lantai semen berusaha memakan semangkuk nasi seperti seekor hewan. Ketika suamiku tidak ada di rumah, perlakuan Bu Jenni sangatlah parah. Aku hanya diberi makan setiap tiga hari sekali.
Hari-hariku di kegelapan dipenuhi dengan suara-suara aneh yang membuatku terus berteriak. Sampai suatu hari, setelah beberapa bulan aku dikurung, aku mulai menyadari bahwa suamiku telah merenovasi rumah. Semua yang kulihat seketika berubah. Aku juga pada masa itu bersumpah tidak akan kembali ke ruang bawah tanah lagi.
Ketika Bu Jenni tak sengaja meninggalkan ponselnya, aku segera mengambilnya dan memencet nomor papa.
“Halo, papa??!!”
“Iya kenapa? Papa lagi sibuk ini.”
“Papa, tolong aku! Lane… suamiku… dia sering mengurungku di ruang bawah tanah… papa aku tidak ingin kembali lagi kesana. Tolong aku papa..!”
“Mungkin itu cara dia mendidikmu menjadi istri yang penurut. Kamu terlalu berlebihan.. Jangan hubungi papa dan layani suamimu supaya dia bisa memberikanmu makan.”
"pa.." kemudian begitu saja, pembicaraanku dengan papa berakhir.
Setelah itu, aku tidak lagi menghubungi papa. Aku berusaha mencari perlindungan dari orang tua ku, tetapi setelah menikah semuanya sudah berbeda. Seolah-olah mereka telah membuangku karena aku sudah dewasa. Aku sudah tidak memiliki tempat untuk bersandar. Daripada kembali ke ruang bawah tanah, lebih baik aku menuruti semua apa yang dikatakannya.
Aku berusaha melakukan tugasku yang penuh dengan kebohongan. Aku sudah mulai terbiasa tersenyum di saat aku sedang ketakutan. Aku juga sudah mulai membiasakan kehidupan baruku yang lebih baik. Perlahan gizi di tubuhku perlahan kembali. Beberapa bulan kemudian, aku akhirnya hamil. Aku memberi tahu kabar itu pada Lane. tetapi, Lane tak tertarik. Dia menyuruhku untuk tetap diam di rumah dan melakukan tugasku. Aku berusaha berkompromi pada keputusannya untuk mengurungku di dalam rumah. Lebih baik daripada aku harus kembali ke ruang bawah tanah.
Kegiatanku setiap hari hanyalah membersihkan rumah, memasak, dan menonton acara televisi. Aku selalu menunggu kedatangannya setiap hari. Ketika cerah maupun hujan. Malam maupun pagi, aku terus menunggunya. Entah mengapa aku lupa mengapa aku rela melakukan semua pekerjaan rumah yang sangat membosankan.
Namun pekerjaan Lane akhir-akhir ini sangat melelahkan. Ketika Lane sedang kelelahan, dia akan pulang dalam keadaan mabuk. Beberapa kali aku menemukan noda pemerah bibir di kemejanya. Aku juga mencium aroma parfum wanita di mantelnya. Tetapi, aku berusaha berpikir positif dan membiarkannya melakukan apa yang diinginkannya. Karena jika tidak, aku akan kembali ke ruang bawah tanah.
Kandunganku sudah berusia tiga bulan semenjak Lane mengurungku dalam rumah. Seperti biasa aku melakukan pekerjaanku di rumah. Sampai suatu hari, aku menerima sepucuk surat dari Boston. Sudah kuduga siapa nama pengirimnya.
“Kevin.” sudah sangat lama aku tak mendengar kabarnya. Dengan kegirangan, aku membuka suratnya. Ternyata sebuah telegram. Tak sabar aku mulai membaca per kalimatnya.
Aku tak bisa menemukan nomor mu di grup kelas. Aku berharap hari ini aku bisa bertemu denganmu. Aku dan Regina akan menunggumu di Little Michelle Cafe yang berada di kota tempat tinggalmu. Aku harap kamu datang, karena aku membawa kejutan. Tenang saja, kami akan menunggu sampai senja. - Kevin.
Saat itu suamiku sedang bekerja, Bu jenni juga sedang keluar berbelanja di swalayan. Saat itu aku sangat merindukan sahabatku yang sedang jauh-jauh dari Boston datang hanya untuk bertemu denganku. Aku sangat merindukan lawakan konyolnya. Aku berharap waktu ketika kita masih duduk di kelas, bisa kembali sekarang juga.
* * *
“Sayang, kamu sudah pesan belum?” Tanya Kevin pada Regina.
Ternyata mereka sudah berubah. Aku baru melihat Regina mengecat rambutnya menjadi biru. Berbeda dengan Kevin yang berpenampilan sangat membosankan, Regina berpenampilan sangat mencolok sampai-sampai aku sempat tak mengenalnya. Sementara itu Kevin masih sama. Kacamata dan jaket membosankan yang selalu dipakainya kemanapun ia pergi. Bahkan jeans hitam selalu menjadi celana kesukaa nya selama bertahun-tahun.
“Aku pesan dulu ya, April kamu mau minum apa?” Tanya Regina dengan nada ramah.
“Tidak apa-apa. Aku akan segera kembali setelah urusan kalian selesai.” Jawabku.
Aku harus segera kembali. Karena perjalanan dari rumah menuju kafe membutuhkan waktu lima belas menit menggunakan taxi. Aku tak tahu nanti di perjalanan akan macet. Terlebih lagi aku hanya memiliki waktu sejam karena nanti jam 3 sore, Bu Jenni akan kembali. Aku kemudian mengangguk dengan sopan kepada Regina. Setelah melihat Regina mengantri di meja kasir, Kevin mengeluarkan sebuah kotak besar dari lantai.
“Ini oleh-oleh dari Boston. Maaf kalau cuman segini.” Kevin menyerahkan kotak bingkisan bewarna krem itu kepadaku.
Aku mengangguk dan menjawab. “Wah makasih ya.. Gak usah repot-repot padahal..”
Hal yang aku pikirkan pada saat ini. Bagaimana aku bisa menyembunyikan kotak bingkisan ini di rumah. Karena jika Lane menyadari ada suatu kotak bingkisan tanpa diketahuinya, aku mungkin akan berakhir di ruang bawah tanah lagi. Seharusnya hari ini aku tak datang.
“Lu kayaknya buru-buru.”
“Iya… gue ada urusan..” aku berusaha menghindari tatapan matanya, karena aku bukanlah pembohong yang hebat. Tetapi sepertinya dari lirikan serius Kevin, dia mengetahui jika aku sedang menyembunyikan sesuatu. Gerak-gerik aku sangat kikuk, mungkin itu sebabnya.
“Katanya lu udah nikah, kok gak ngundang gue?” Tanya Kevin
“Ah.. itu karna..” aku berpikir sejenak dengan kikuk. “Lu lagi skripsi di Boston kan? Makanya gue agak sungkan buat ngundang lu.”
Kevin tertawa kecil setelah mendengarkan pernyataanku. “April, gue baru semester pertama, belum ada proyek, magang, atau skripsi disana. Yang bener aja deh…”
“Begitu ya…” Aku memalingkan wajah dari tatapan matanya yang terus mengobservasi gerak-gerik ku yang sangat kikuk.
“Lu emangnya gapunya ponsel?”
Ponselku yang terakhir kubawa dari rumah, disita oleh Lane ketika dia mengetahui jika aku bekerja sebagai model diam-diam. Ketika aku dikurung di ruang bawah tanah, aku kehilangan kontak dengan dunia luar. Lane selalu mengurungku di dalam rumah dan satu-satunya pelipur lara untukku adalah buku. Memang ada televisi di ruang tamu, namun itu hanya pajangan dan Bu Jenni menyuruhku jangan pernah mendekati ruang tamu.