Rumah Kaca

Amiralie
Chapter #16

Ep. 11 - Rika

Semenjak hari itu Malvin sering mengejarku kemanapun aku pergi. Pernah sekali aku bersembunyi di dapur belakang kantin hanya untuk makan siang dengan tenang. Malvin tak pernah berhenti mencariku. Anehnya dia bisa mengetahui semua jadwal pelajaran di kelasku dan tiba-tiba saja dia tahu giliranku piket. Malvin sering mengoceh pembicaraan yang tak penting. Tentu saja aku terganggu. 

Tetapi, ketika dia sudah mulai berhenti menghampiriku, aku terkadang bertanya-tanya dimana keberadaanya. Entah mengapa, ketika Malvin sedang dekat dengan anak cewek lain membuatku juga kesal. Aku tak mengerti apa perasaan ini. Aku menceritakan ketidak pengetahuanku ini ke komik. Ketika membaca kolom komentar kemudian aku baru mengetahuinya. 

Jika dia sering menghampiriku, aku kesal. Tetapi jika dia menghilang, aku sering bertanya dimana keberadaanya. Jika dia dekat dengan anak cewek lain, aku kesal. Anehnya aku merasa sedikit iri karena aku sudah sangat lama tak bertemu dengannya. Ternyata, aku sudah jatuh cinta padanya. Bahkan aku merinding sendiri ketika mengetahui perasaanku ini. Aku tak menuliskannya ke buku harian. Aku malah menuliskannya dalam bentuk cerita episode terbaru untuk komikku. 

Sampai pada akhirnya, aku hanya memendam perasaan itu sampai aku naik kelas tiga. Aku beda kelas dengan Ruby tetapi sialnya aku sekelas dengan Malvin. Kukira dia akan terus menghampiriku, tetapi aku salah. Berbeda denganku, dia memiliki banyak teman-teman yang selalu mengelilinginya. Aku bukanlah orang yang terlalu terbuka. Banyak yang mengatakan aku adalah orang yang sangat sulit didekati. Memang banyak yang mengenaliku. Mereka selalu menyapaku di lorong walaupun aku tak mengenal siapa mereka. 

Pagi itu adalah hari pertamaku sebagai murid kelas tiga. Aku terlambat sehingga aku mengambil bangku kosong secara acak. Aku menemukan pojokan bangku kosong. Kemudian bell berdering, wali kelas baru memasuki ruang kelas. Seperti biasa. Ceramah singkat tentang pemilihan ketua kelas dan sebagainya. Kemudian ada seorang murid yang baru saja terlambat. Wali kelas menyuruhnya duduk di bangku kosong. Satu-satunya bangku kosong di kelas adalah bangku yang terletak tepat di sebelahku. 

Kemudian dia memperkenalkan dirinya. “Gue Hazel, sori nanti gue bakalan tukeran sama anak cewek kalo lu gak nyaman.” 

Aku melihat sekitar kelas, semua orang berpasangan masing-masing dengan rapi. Kecuali anak cewek dan cowok yang duduk bersama di pojokan kelas. “Kalo lu mau tukeran sama Catherine, gue saranin jangan deh. Soalnya dia lagi bucin sama pacarnya, Adrian.” 

“Lu gak keberatan kan?” Setelah melihatku mengangguk, dia melirik ke buku sketsaku yang sengaja aku tutupi dengan buku matematika. “Lu suka gambar ya?” 

Aku kembali menutupi buku sketsa dengan buku matematika. “Enggak.” 

Hazel kemudian mengambil buku sketsaku yang kusembunyikan dibalik buku matematika. “Wah ini mah udah pro….” 

Hazel membolak-balikkan halaman dan melihat beberapa tulisan berantakan yang tertulis di beberapa sketsa panel. “Kayaknya lu ngefans banget sama Little Daisy. Tapi ini mah mirip banget. Apa jangan-jangan…?” 

“Gak.. bukan.. Gue cuman fans.” jawabku dengan memalingkan wajah. Kemudian aku menyambar buku sketsaku dan memasukkannya ke dalam tas. “Padahal ini barang pribadi.” 

“Tapi seriusan deh, karyanya Little Daisy akhir-akhir ini mulai berkembang. Followernya juga mulai meningkat.” Hazel kemudian membuka website komik online di ponselnya. 

“Lu suka Little Daisy?” tanyaku dengan nada sedikit penasaran. 

“Gue bukan penggemar cerita romance sih, tapi pas baca karyanya ternyata gue mulai mengerti cara berpikir orang yang lagi bucin. Soalnya penyampaian ceritanya singkat banget jadi gampang dimengerti.” 

Kemudian Hazel membuka salah satu episode dan menunjukkannya kepadaku. “Gue paling suka episode ini. Karena komedi nya ngena banget. Tapi juga hero nya juga ngakak sih. Kok bisa dia deketin cewek pake cara ngeselin gitu.” 

“Iya kan…” jawabku dengan setuju. Aku jadi teringat ketika Malvin menawariku tumpangan ketika pulang sekolah sementara itu dia berhenti di depan gang dan membuat macet panjang. Aku kesal, tetapi di saat yang bersamaan juga lucu jika diingat kembali. 

“Ngomong-ngomong soal episode ini, sebenarnya agak mirip sama kejadian setahun yang lalu.” kata Hazel. 

“Maksud lo?” oke, aku mulai merinding, seharusnya aku tak bertanya. 

“Itu loh, tahun lalu sekitar jam 5 pas pulang sekolah. Cuaca hari itu hujan. Kebanyakan orang di sekolah pulang naik mobil. Udah tau gang sekolah kita sempit gitu, terus pernah ada anak cewek lagi nungguin angkot lagi teriak-teriak sama anak cowok di mobil.” 

Kemudian Hazel melanjutkan setelah berpikir sejenak. “Yang gue denger. Si anak cowok bikin macet seisi gang cuman karna si anak cewek nolak buat nebeng bareng. Lucu juga sih karna secara kebetulan kok ceritanya bisa sama?” 

Begitu melihat Hazel membaca komikku, dia membaca dari satu panel ke panel lainnya secara vertikal. Wajahnya terlihat senang dan menikmati setiap kekonyolan karya Little Daisy. 

“Cuman kebetulan kali.” 

“Itu elu kan? Anak cewek yang nolak tumpangan di depan gang?” 

“Hah kagak! Lu halu kali!” 

“Payung merah punya si anak cewek agak mencolok soalnya. Lu selalu bawa payung merah yang dimasukkin ke kantong luar tas lo. Lagipula, di angkatan kita, cuman lo yang suka gambar di pojokan perpus.” 

Sialan. Dia tahu semuanya. Benar-benar memalukan. Malvin sialan!

Memang benar. Aku selalu menggambar sendirian di meja ujian pojokan perpustakaan. Mungkin karena aku keasyikan menggambar jadi aku tak mengetahui siapa yang lewat, siapa yang diam-diam melihatku menggambar. Tetapi, hanya Ruby yang bisa mengetahui jejakku yang hilang setiap istirahat pertama. Aku terlalu malu untuk menceritakan pekerjaan rahasiaku. Sehingga aku berusaha menyembunyikannya di sekolah. 

“Hah?! Kagak, lagian Ruby juga kan punya payung merah juga! Di sekolah ini banyak anak yang punya payung merah selain gue. Jadi sori, kayaknya teori lu salah…” 

Aku jadi ingat. Payung merah yang kubeli di mall adalah karena Ruby merengek padaku ingin memiliki barang yang sama denganku. Kebetulan warna kesukaan kita adalah merah, sehingga kami membeli payung merah yang sama. Berkat Ruby, aku bisa mencari alibi yang sempurna. 

“Enggak, gak salah kok. Gue kebetulan ada di belakang mobil nya Malvin. Supir gue yang teriak karna kebucinan kalian berdua itu bikin seisi gang macet panjang.” 

Jalannya sudah buntu. Aku menghela nafas merasakan kekalahan untuk menyembunyikan pekerjaan rahasiaku. “Iyaya.. Oke terserah! Iya, gue Little Daisy. Tapi jangan kasih tau siapa-siapa!” 

“Tenang aja, gue bakalan jaga rahasia lo.” Hazel kemudian mengeluarkan edisi komikku pertama yang telah dicetak oleh penerbit website. “Silahkan tanda tangani sensei…” 

“Hah ini kan edisi lama yang gue kerjaiin pas SMP! Darimana lo dapetin ginian?!” Kemudian aku membuka halaman pertama dan menggunakan pulpen tinta ungu untuk menulis tanda tangan. 

“Pasar komik lama.” 

“Hah?! Dimana??!! Gue lagi koleksi komik lama” 

“Yaudah nanti pulang sekolah gue temenin.” 

Sepulang sekolah, Hazel mengantarkanku ke stasiun untuk pergi ke toko komik lama. Kukira hanyalah sebuah toko kecil di sebuah pasar. Namun dugaanku salah. Hazel mengantarkanku ke sebuah toko buku lama yang terletak di sebuah komplek gedung putih berarsitektur zaman belanda. Disana terdapat toko kopi, kafe, restoran, dan pasar malam. Toko buku yang dikatakan oleh Hazel terletak cukup tersembunyi. 

Ketika aku sampai disana aku bisa mencium buku lama yang sangat harum. Kebiasaan anehku adalah menemukan buku lama dan mencium aroma halamannya yang telah berubah menjadi kecoklatan. Toko buku kecil itu bernama. “Minerva.” bersama Hazel, aku tak perlu mengkhawatirkan apakah dia akan bosan bersamaku. Karena dia sendiri sama sepertiku, sangat menikmati dirinya ketika sedang dikelilingi buku-buku lama. 

Tak terasa, kita membuang-buang waktu hanya untuk pergi ke Minerva. Ketika Ruby mengetahui aku dekat dengan anak cowok di kelasku, dia langsung mendukungku tanpa ragu dan dengan lega akhirnya dia bisa berpacaran dengan Dika. walaupun kita sudah jarang bertemu, Ruby masih sering menelponku di rumah untuk mengobrol tentang pengalaman cintanya bersama Dika yang seindah cerita dongeng. Terkadang aku bosan mendengar cerita bucin nya. 

“Nanti ke Minerva lagi?” Aku bertanya pada Hazel yang sedang membaca novel berbahasa Korea dengan sangat serius ketika mendengar bell istirahat. 

“Boleh, kebetulan gue udah nabung buat ngeborong satu rak. ” 

“Minerva? Boleh gue ikut kesana?” Tanya Malvin. 

Sosok yang sangat ingin kuhindari. Padahal sudah berbulan-bulan aku merasakan kebebasanku untuk bisa jauh darinya. Tinggal satu tahun lagi, aku akan lulus dan menganggap pernyataan cinta ketika April Mop itu akan berakhir begitu saja. Dari sekian banyak tempat, kenapa dia harus datang ke bangku tempatku dan Hazel duduk. 

“Enggak! Itu bukan tempat buat bocah kayak lo!” aku melontarkan jari telunjuk yang menusuk ke dadanya. 

“Memangnya itu apa? Nightclub?” Malvin kemudian bertanya dengan raut wajah kesal. “Rika, lu ternyata udah berani ya ke Nightclub sama cowok.” 

Dengan kesal aku mengenduskan nafas. Kemudian melotot dengan ekspresi sinis. “Malvin, udah gue bilang, itu bukan tempat buat bocah ingusan kayak lo. Pasti lo bosen!” 

Aku jadi teringat ketika aku membawa Ruby ke toko buku di mall. Pada akhirnya, dia hanya akan menunggu di kedai kopi dekat toko buku karena dia sangat bosan menungguku berlama-lama di toko buku. Semenjak saat itu, aku mulai berpikir lagi untuk membawa teman ke toko buku. Terlebih lagi, berbeda dengan Hazel yang bisa membuatku tenang karena dia sudah mengetahui bagian dalam cangkang ku, Malvin hanyalah bocah ingusan yang sangat terobsesi untuk mendekatiku. Percayalah, pada akhirnya dia akan bosan!

Hazel kemudian membuka bibir. “Kalian kalo bucin jangan di meja gue yak. Gue lagi susah terjemahin buku nih.” 

“Sori..” Untuk menjaga ketenangan, aku keluar kelas dan Malvin mengikutiku, seperti biasa. “Malvin, jangan ikutin gue!” 

Aku lupa menceritakan tentang hobi aneh Hazel. Bukan aneh, lebih tepatnya jenius. Hazel menguasai lebih dari tiga bahasa. Dia menguasai Bahasa Korea, Jepang, Mandarin, Melayu, Prancis, Spanyol, Italia, dan Hindi. Katanya, dia bercita-cita menjadi seorang diplomat. Dia sudah membuat CV nya. Motto kesukaanya adalah ‘Nerds rule the world.’ 

Aku senang mendapatkan teman kutu buku yang sama denganku. Berada di dekatnya membuatku lebih nyaman menghabiskan waktu sampai malam hanya untuk membaca buku bersama. Masalahnya, anak seumuranku apalagi di usia remaja, adalah anak-anak yang sangat bosan membaca buku. Aku mendapatkan sepuluh alasan mengapa Hazel adalah makhluk yang langka. 

“Jadi.. lu sekarang deket sama Hazel?” Tanya Malvin dengan menarik pergelangan tanganku. 

Aku mengangkat pergelangan tanganku. “Apaan nih? Emang nya kenapa? Kan gue manusia biasa, terserah gue mau temenan sama siapa. Tua atau muda. Cantik atau ganteng. Cewek atau C-O-W-O-K.” 

“Oke terserah.” Aku bisa melihat wajahnya memerah. “Gue bakalan ngomong beneran sekarang deh. Sekarang udah bukan April Mop soalnya.” 

Lihat selengkapnya