Rumah Kaca

Amiralie
Chapter #19

Ep. 13 - Hana

Namaku Hanamira. Kalian bisa memanggilku Hana. Semenjak kecil aku bukanlah anak yang penurut. Aku selalu melarikan diri dari rumah semenjak aku berusia sepuluh tahun. Tempatku satu-satunya untuk berlindung hanyalah warung internet yang terletak dua stasiun dari kota tempat aku tinggal. Semenjak aku berusia dua belas, aku bekerja sebagai tukang pengantar koran dengan memalsukan usiaku yang sebenarnya. Di usia segitu aku bisa membuat KTP palsu sehingga aku bisa mendaftar untuk pekerja paruh waktu. Penghasilan tidak seberapa, tetapi sudah cukup untuk biaya makan sehari-hari. 

Kalian pasti bertanya-tanya mengapa aku di usia semuda itu sangat ingin mendapatkan uang penghasilan. Alasannya adalah karena keluargaku. Berbeda dengan kalian semua. Aku terlahir di sebuah lingkungan keluarga dimana aku selalu dipaksa untuk bertahan hidup. 

Papa adalah seorang pemabuk berat. Berkatnya aku selalu mendapatkan luka di sekujur tubuhku. Pernah sekali Biro Perlindungan Anak mendatangi rumahku karena guru-guru melihat ada banyak luka di sekujur tubuhku semenjak aku duduk di bangku kelas I SD. tetapi papa adalah orang yang pintar. Dia mengatakan jika luka di sekujur tubuhku didapatkan karena aku adalah anak yang susah menjaga keseimbangan sehingga aku sering terjatuh kapanpun. Bahkan papa masih menyimpan laporan yang mengatakan bahwa aku dilahirkan dalam keadaan lemah. Itu menjadi tameng nya supaya Biro tak menangkapnya atas penganiayaan terhadap anak di bawah umur. 

Aku tumbuh di sebuah rumah susun yang terletak di pedalaman kumuh. Setiap malam, papa selalu memukulku karena katanya wajahku sangat mirip dengan mama yang meninggalkanku sejak aku berusia lima tahun. Entah mengapa, berkat Papa aku bisa merasakan kebiasaan untuk menjadi bantal pelampiasan. Sampai ketika aku berusia tiga belas, aku sudah tidak lagi merasakan rasa sakit. 

Seingatku, mama terkadang pulang ke rumah karena sedang mencari uang pensiun milik papa ketika papa sedang tidak ada di rumah. Mama tidak pernah sekalipun melihatku. Setiap kali aku merengek supaya dia bisa tinggal, pada akhirnya mama pergi bersama dengan seorang pria yang membawa mobil merah. Semenjak saat itu, ketika aku melihat mobil berwarna merah, itu mengingatkanku pada mobil yang membawa mama pergi dan tak akan pernah kembali lagi. 

Walaupun begitu, untuk menyembunyikan luka di wajahku, aku selalu mengenakan dandanan ke sekolah. Aku menutupinya dengan foundation dan concealer supaya tidak ada yang mengetahui tentang kehidupanku di rumah. Itulah mengapa setiap kali kalian ingin datang ke rumahku, aku selalu menolak dengan berbagai alasan yang memungkinkan supaya kalian tidak datang melihat keadaan rumahku yang berantakan. 

Ketika aku menceritakan tentang rumahku, aku selalu menceritakannya seperti ini. Ruang tamu yang tercium bau alkohol yang sangat menyengat. Asbak rokok yang selalu kotor dan tak pernah dibersihkan. Beberapa bungkus kondom yang berserakan di dapur. Suara desahan seorang wanita yang papa bawa sudah menjadi pengganti lagu pengantar tidur untukku ketika malam hari. Pagi harinya, aku selalu mengunci kamarku sementara itu papa dan temannya itu sedang tertidur lelap sementara aku harus membereskan semua pakaian mereka yang berserakan. Singkat, padat, dan lengkap jika kalian bertanya tentang bagaimana keadaan rumahku. 

Ketika SMP, aku tumbuh menjadi seorang anak yang menggunakan topengnya untuk melindungi diriku. Karena pernah, ketika SD, aku ditindas karena papa sering membawa banyak wanita ke rumah dan melampiaskan kemarahannya padaku. Karena kejadian itu, aku tak ingin mengulanginya lagi ketika SMP. 

Oleh karena itu, aku berusaha belajar keras dan bekerja untuk membayar biaya sekolah di SMP yang terletak sangat jauh dari rumahku. Dengan harapan, teman sekelasku ketika SD tidak akan menemukanku dan mengulangi kejadian yang sama di masa lalu. 

Anehnya semenjak aku berusia dua belas, aku memiliki gangguan tidur sehingga pada malam hari aku selalu terjaga. Aku menganggapnya sebagai hal yang baik. Karena dengan begitu, aku bisa belajar lebih keras dan bekerja untuk menghasilkan banyak uang. Aku selalu menyembunyikan uang tabunganku di bank sehingga papa tidak akan pernah bisa mengambilnya tanpa kartu yang selalu kubawa di dompetku ke sekolah. 

Kemudian ketika Kelas II SMP, aku bertemu dengan kalian. Stevia, Luna, April, dan Rika. Suatu kebetulan kita satu barisan bangku yang saling bersebelahan. Bersama kalian, aku telah mengenakan topengku dalam waktu yang cukup lama. Entah mengapa masa laluku masih sering menghantuiku sehingga aku terlalu takut untuk mengatakan pada kalian dengan jujur. Bersama kalian, membuatku sadar jika aku bisa bahagia. Kalianlah yang mengajarkanku arti kebahagiaan yang sebenarnya. 

Kita sering berkumpul bersama untuk makan es krim mochi di depan supermarket hanya untuk membicarakan hal yang tak penting. Namun bagiku, kebersamaan kalian adalah prioritasku. Berkat kalian, aku tidak harus pergi ke warnet seorang diri. Berkat kalian, aku tak sendiri. Berkat kalian, aku bahagia. Aku sangat ingin mengucapkan terima kasih karena kalian telah menemaniku dalam waktu yang sangat lama. 

Memiliki sahabat baik seperti kalian, sudah menjadi kebahagiaanku yang sederhana. Aku juga tidak pernah menyangka bahwa persahabatan kita bisa bertahan lama, tidak seperti kebanyakan anak remaja yang akan berpisah dan tak pernah bertemu lagi setelah lulus. 

Sampai suatu ketika, aku bermimpi aneh. Siang itu, aku ketiduran di perpustakaan sekolah. Aku bermimpi, mama datang ke rumah. Dia membawa beberapa temannya yang mengenakan jubah hitam dan sebuah topeng aneh dengan tanduk. Mereka mengucapkan kata-kata aneh dengan membawa lilin-lilin untuk menerangi gelapnya rumah. Mama membuka topengnya, kemudian dengan sebuah belati, mama menusuk jantung papa. 

Aku sangat ketakutan sehingga pada hari itu aku tidak ingin pulang ke rumah karena mimpi aneh itu. Namun keesokan paginya. Aku sedang bersiap-siap untuk mengantarkan koran. Seniorku menyalakan televisi di saluran berita. Ketika aku sedang membuka kunci sepeda, aku mendengarkan suara pembawa acara itu berkata. 

“Telah ditemukan seorang Pria berinisial LJ di rumah susun Blok 09 yang terletak di kecamatan Paviliun 07. Pria berinisial LJ ditemukan telah terbunuh di rumahnya dalam keadaan luka sayatan di bagian jantungnya. Telah ditemukan juga istrinya, bunuh diri dengan pistol genggam di kamarnya. Pihak kepolisian juga menemukannya ada bukti tentang sekte sesat yang telah diikuti oleh istri LJ beberapa tahun lalu….” 

“Gak… gak mungkin..” gumamku dengan ketakutan. 

Nama papa adalah Lorens Joseph. Rumah susun Blok 09, Paviliun 07 adalah alamat tempat tinggalku. Ketika mendengar kabar berita, aku bergegas mengayuh sepeda sekuat tenaga untuk kembali ke rumah. Hari masih fajar tetapi tepat di rumah rusun, aku bisa melihat keramaian dari kejauhan. Ada mobil kepolisian, mobil van stasiun berita dan beberapa warga sekitar yang sedang berusaha melihat gerbang rumah susun yang telah dibatasi oleh garis polisi. 

Dari lantai bawah, aku bisa melihat lantai lima, pintu rumahku tinggal, beberapa pria mengenakan pakaian polisi terlihat sedang mondar-mandir ke pintu rumahku dari sepanjang lorong. Tak lama, aku mendengar ambulans pergi membawa dua kantong mayat yang telah dikunci rapat oleh resleting. 

Pada hari itu, papa dan mama meninggal dunia. Apa yang ku lihat di mimpi pada siang itu ternyata adalah rekaman masa depan. Namun aku masih menyangkal, jika semua yang aku lihat di mimpi hanyalah sebuah kebetulan. 

Mama memang pergi dalam waktu yang lama, tetapi aku juga baru mengetahuinya jika mama ikut dalam sebuah sekte sesat. Papa dan mama, mereka adalah dua orang gila yang telah membesarkanku. 

Pada siang itu juga, kepolisian datang ke sekolahku dan sedang mencari anak yang hilang karena peristiwa pembunuhan tadi pagi. Namun, yang hadir hanyalah seorang wanita separuh baya . Wanita itu mengenakan topi yang dipakai oleh istri-istri bangsawan Prancis pada abad ke-19 dan wajahnya nyaris tertutup oleh topi itu. Penampilannya terlihat sangat kuno. Seolah-olah dia hidup sebagai wanita bangsawan Prancis di abad ke-19. 

Ketika bertatapan wajah, aku hanya bisa melihat bibirnya yang tersenyum kepadaku. “Bonjour Hana. aku datang membawamu pergi. Karena kamu tidak ada di sekitar rumah, jadi tidak ada pilihan lain selain mendatangimu ke sekolah.” 

“Maafkan saya jika lancang, tetapi siapa anda? Apakah anda bibi saya?” 

“Oh maaf atas ketidaksopanan saya. Nama saya Diane Lachelle. Panggil saja saya Diane. Saya adalah saudara seayah dari ibumu.” 

Kemudian wanita itu melepaskan topinya. Aku bisa melihat wajah yang terlihat sangat cantik dengan dandanan natural. Alisnya terlihat miring dengan sempurna. Bulu matanya yang lentik. Kedua bola mata bewarna biru yang seperti permata safir. Sepertinya dia blasteran. Bisa dilihat dari warna mata dan rambut coklatnya yang tergerai bergelombang sepanjang pinggang. 

“Mama saya meninggal karena sekte sesat. Apa anda adalah termasuk anggota sekte sesat?” Aku berusaha memastikan jika kerabatku satu-satunya ini aman. 

“Tidak sayangku. Sepertinya kamu terlalu kaget untuk menerima semua kejadian ini. Tetapi kamu berbeda ya. Tidak seperti anak remaja pada umumnya. Kamu tidak menangis atau panik. Seperti seolah-olah kamu sudah mengetahui bahwa ini akan terjadi.”

“Apa maksud anda?” 

Kesan pertamaku pada wanita bernama Diane Lachelle itu adalah ketika aku melihat tatapan matanya. Aku bisa melihat tatapan yang menatap seperti seorang pembunuh berdarah dingin yang sedang menargetkan mangsa nya. Orang lain tak bisa menyadarinya, karena terlalu fokus pada penampilannya yang tidak biasa untuk dijadikan pengalihan pada tatapan matanya yang tak bisa disembunyikan. 

“Kamu sendiri, sedang memadai penampilanku bukan? Apakah penampilanku aneh?” Tanya Diane dengan tersenyum simpul. 

Lihat selengkapnya