Julianus Gavi #1
Dikerubuni udara dingin sembilan derajat yang menembus sweater turtleneck serta lapisan parka Zara seharga 15.000 yen hadiah ulang tahun dari Yuki-san seminggu yang lalu, aku mengayuh sepeda seorang diri diikuti jejak kaki dijalanan basah yang mengekor sepanjang 5 kilometer dari apato menuju taman kota Shizuoka. Berbaur bersama rintik hujan dan para manusia idealis yang menjunjung tinggi kedisiplinan, aku tersesat dijalanan yang sudah empat tahun setiap hari kulintasi. Tak tertolong oleh GPS atau Polisi Jepang yang terkenal berdedikasi diseantero bumi, aku limbung ditelan keraguan dan ketidakpastian arah mana yang harus kutapaki.
Namun selalu ada dia yang bisa kuandalkan manakala bimbang terombang ambing diambang kelam pekat dan terang benderang kehidupan. Seperti suluh dia menyalakan semangat yang terkadang redup, laksana air memadamkan amarah yang membakar dan membuncah, dialah Asiya wanita kedua yang sangat kucintai setelah ibuku.
Proses pernikahan kami terbilang singkat dan sangat sederhana. Aku mengkhitbah melalui kakak laki-lakinya yang merupakan sahabat sekaligus rekan kerjaku. Setelah mengutarakan niat baik tersebut, selang seminggu kemudian aku bersama ibu dan adikku Dina silaturahmi kerumah Halim dan istrinya Nurmala di Pondok Kelapa Jakarta Timur untuk mendengar jawaban dari Asiya. Hatiku bergetar dan air mataku tak terbendung ketika mendengar syarat nikah dan mahar yang ia ajukan kala itu.
“Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Kurang lebihnya aku telah mendengar siapa dan bagaimana Kak Julian dari Mas Halim yang aku yakin tidak akan sembarangan dalam membawa calon suami untukku. Insyaallah tanpa paksaan ataupun dorongan dari siapapun aku bersedia menjadi istri Kakak.”
Kala itu jantungku berdebar kencang seolah tidak percaya bahwa gadis muslimah yang hanya duduk sejauh satu meter di depanku bersedia aku persunting.
“Namun ada syarat yang ingin aku ajukan untuk pernikahan kita selain mahar, apakah kakak tidak keberatan,” Asiya mengangkat wajahnya seraya memandang ke arah Halim.
“Apabila dalam Islam itu adalah hal yang lumrah atau diperbolehkan, maka aku tidak keberatan selama itu tidak memberatkan.”
“Apabila Kakak sungguh-sungguh menginginkan aku dan agamaku, insyaallah itu tidak akan memberatkan,” Asiya kembali menundukkan wajahnya.
“Baiklah, aku tidak keberatan.”
Asiya menarik nafas panjang seolah hendak berancang-ancang menerjang medan perang.
“Pertama aku meminta kakak untuk mengkhatamkan Al-quran serta kitab Bulughul Maram Ibnu Hajar Al Asqolani. Alhamdulillah terkait hal ini Mas Halim bersedia untuk membimbing dan membantu kakak," aku melihat ke arah halim yang menganggukkan kepalanya seolah mengiyakan.
"Tanpa ada sedikitpun niat untuk merendahkan atau mempersulit, aku percaya bahwa kakak orang yang berpendidikan dan paham dengan maksud serta tujuan saya terkait dua hal ini,” sejenak Asiya terhenti seraya menundukkan wajah.
“Yang kedua, selama aku bisa menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri, kakak tidak boleh menikahi wanita lain. Dan apabila kakak bersedia dengan dua syarat yang aku ajukan tersebut, maka kita dapat menikah.”
Sejenak ruangan terasa hening.
Aku melirik ibu yang sudah terlihat menua dengan mata yang terus berkaca-kaca sejak pertama kali kami tiba, kedua tangannya menggenggam erat kalung salib yang menggantung dilehernya. Dari wajahnya tergurat kesedihan dan ketidakrelaan yang terselubung kasih sayang yang mengambang kepermukaan.
“Aku siap!” aku menjawab dengan lantang tanpa sedikitpun ada keraguan seraya menggenggam tangan ibu dengan erat.
Sejenak kupejamkan mata untuk menahan linangan air mata yang tanpa aku sadari berderai begitu saja dari pelupuk mata.
“Hidupmu adalah pilihanmu nak!” kata-kata ibu itu terus terngiang dalam benakku.
Dapat kurasakan tangan lembut ibu membelai dan menepuk-nepuk punggung tanganku seolah menguatkan.
“Lalu apa yang Asiya inginkan untuk mahar?” sambungku.
“Saya menginginkan ke-Islaman kakak sebagai mahar untuk pernikahan kita.”
Aku dapat merasakan genggaman tangan ibu yang seketika semakin erat begitu mendengar hal itu, seolah berteriak kedalam hatiku untuk tidak menerima dan membatalkan semuanya.
“Apakah dengan itu saja cukup?”
“Insyaallah cukup kak.”
“Saya kira mahar itu harus berbentuk benda atau hal-hal yang berbau materi keduniaan?”
“Tidak kak, pada masa Rasulullah Shahabiyat Ummu Sulaim telah lebih dulu mengajukan mahar serupa ketika dilamar oleh Abu Thalhah. Aku ingin mendapatkan mahar yang paling mulia sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah kepada beliau,” Asiya mengusap air matanya.
Sekali lagi aku pandangi ibu tanpa berucap sepatah katapun, meski dari kedua matanya mengalir air mata yang aku pertanyakan maknanya, ia tersenyum.
Sejak hari itu aku resmi menjadi seorang muslim bernama Abdullah dengan mengucap syahadat dibimbing oleh Ustadz Amir dari Sukabumi dan disaksikan oleh keluarga Asiya serta ibu dan adikku. Satu tahun kemudian kami menikah setelah aku akhirnya berhasil menjalankan syarat nikah yang diajukan oleh Asiya.
Dihentikan oleh lampu merah zebra cross yang berada diseberang Kitamikado Ato - Sunpu Park atau yang biasa disebut Sunpu Kouen, handphone disaku celanaku berderit.