Halim Mubarak #1
Selesai shalat berjama'ah subuh pagi itu aku bergegas kembali pulang ke rumah dengan sedikit tergesa-gesa karena tidak bisa fokus melakukan dzikir pagi serta murajaah hafalan Al-Qur'anku yang masih tertahan di juz kelima. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak bisa berfikir dengan jernih karena isi kepalaku dipenuhi oleh bayangan Julian teman dekatku yang secara terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Islam dan adik semata wayangku Asiya.
"Halim,
Aku tahu kamu pasti menginginkan seorang muslim berilmu untuk menjadi suami adikmu, yang seiman, seagama, kufu dan mampu membimbingnya.
Tapi aku tidak bisa tidak menyampaikan keinginanku untuk mempersunting seseorang yang aku butuhkan dalam hidupku seperti dia.
Aku perlu seseorang yang kokoh pondasi agamanya untuk saling mengukuhkan.
Seseorang yang berwawasan luas seperti Asiya untuk membuka pemahamanku tentang Islam.
Aku tahu konsep seorang suami adalah memimpin tapi aku akan terus belajar.
Tidakkah kamu juga berfikir demikian?
Sebagai seorang teman, aku tidak ingin memberatkanmu.
Tapi tolong sampaikan niatku tersebut pada Asiya, kalaupun ditolak aku ingin mendengar langsung darinya.
Setidaknya aku telah berusaha."
Tentu saja aku tidak bisa menolak permintaan seseorang yang sedang mencoba untuk meniti jalan menuju kebaikan seperti Julian, terlebih dia adalah sahabat dekatku.
"Insyaallah akan aku sampaikan amanat darimu.
Sedikit banyak kalian telah saling kenal beberapa waktu yang lalu ketika ke Batu kan?
Datanglah kerumahku seminggu dari sekarang bersama keluargamu, semoga cukup untuk adikku memikirkan tawaranmu. Aku berharap niat baikmu mudah-mudahan tidak mendatangkan kejelekan terhadap keluargamu terutama ibumu."
"Amin."
Lantunan bacaan surat Al-kahfi Asiya dan Nurmala dari lantai dua terdengar dengan jelas bersahutan begitu aku membuka pintu. Masuk kedalam kamar, kulihat Utsman masih tertidur pulas di ranjang persegi yang terbuat dari kayu jati berukuran sepuluh kali enam meter yang diletakkan tepat disamping tempat tidurku, lelap dibalik kelambu putih dengan garis-garis berwarna biru menikmati hari ketujuh keberadaannya di muka bumi.
“Sudah pulang lagi mas?” aku dikagetkan oleh kedatangan Nurmala yang tanpa kusadari berada tepat dibelakangku.
“Asiya ada bilang sesuatu sama kamu?”
“hmm, enggak.”
“Sama sekali?”
“Enggak mas, kenapa?”
“Ayo kita naik,” aku menggendong Utsman yang masih terlelap tidur lantas bergegas naik ke ruang keluarga menghampiri Asiya yang tengah duduk bersila menggenggam mushaf kecil di tangan kanannya.
“Ada apa mas?” Asiya menghentikan bacaannya seraya melirik curiga kearahku.
“Ada apa, apa?” aku balik bertanya padanya.
“Tumben jam segini sudah kembali dari masjid dan langsung duduk disini,” Asiya menutup mushafnya lantas duduk mendekat kearahku.
“Tidak ada apa-apa, lanjutkan saja ngajinya,” aku meletakan Utsman di kasur bayi kecil berwarna hijau di atas kaki yang aku selonjorkan.
Asiya dan Nurmala saling memandang sembari tersenyum aneh.
"Apa sebenarnya yang membuat mas gelisah?"