Julianus Gavi #2
Melewati toko Sanrio yang berada di lantai tiga, Asiya terus menarikku berjalan menaiki lift menuju lantai lima dan memasuki gerai Crestbridge.
“Kita mau apa kesini sayang?” aku berhenti tepat dipintu masuk toko.
“Aku punya hadiah untuk kamu,” Asiya tersenyum sambil menarik tanganku kuat.
“Irashaimase,” kembali terdengar suara beberapa orang lelaki dengan setelah jas rapi menyambut kedatangan kami.
“Kesa denwa sita, Asiya to mousimasu,” Asiya langsung menuju teller lalu tak lama kemudian menerima paperbag besar berwarna hitam dengan tulisan Black Label Crestbridge.
“Kamu beli apa?” aku mengernyitkan alis dan memukul lembut tangannya.
“Jangan diintip, nanti bukanya di apato ya! ini hadiah dariku untukmu,” Asiya tersenyum lebar seraya menyerahkan bingkisan yang lumayan berat tersebut.
“Pake uang siapa belinya?” aku mencubitnya.
“Uang aku dong, enak saja.”
Setengah berlari Asiya keluar dari toko meninggalkan ku di belakang.
Bukan hal baru kalau dia memberikan hadiah dan kejutan padaku serta orang-orang disekitar kami.
“Ingat surat An-nisa ayat 36.”
Selalu bertumpu pada ayat tersebut, Asiya baik pada siapapun tanpa terkecuali, bahkan pada orang asing tak dikenal yang hanya lewat depan pagar rumah.
Asiya terlebih dulu masuk kedalam Official Shop Sanrio yang dari luar sudah bisa terlihat didominasi warna pink. Pintu masuk yang terbuat dari kaca dihiasi wajah Hello Kitty membuatku agak ragu untuk masuk kedalamnya. Dari luar aku bisa melihat Asiya mondar mandir dengan cerianya sambil menenteng keranjang belanja berwarna pink.
Hampir lima belas menit aku menunggu diluar namun Asiya tak kunjung datang. Pintu otomatis telah terbuka ketika aku melangkahkan kaki hendak masuk kedalam toko manakala dari kejauhan baru kusadari Asiya tengah jongkok berlinang air mata di pojok kanan pintu tempat aksesoris bayi dan anak-anak berada. Seraya memegang erat kaos kaki rajut berwarna pink muda, matanya merah dan air mata berlinang membasahi wajahnya.
“Kamu tetap istriku dan akan selamanya begitu sampai Allah memisahkan kita untuk sementara,” aku jongkok tepat disamping Asiya yang langsung mengusap air matanya.
“Aku ikhlas dan ridha meskipun tidak memiliki keturunan, kelak ketika kita meninggal masih ada sumur-sumur yang bisa mengalirkan pahala untuk kita, atau masjid yang menjadi penyambung umur kita. Alhamdulillah ‘ala kulli hal, tak sedikitpun ada yang berubah antara kita,” aku tarik tangannya sementara Asiya memalingkan muka.
“Aku ingin kamu jadi istriku di dunia dan di akhirat, maka jangan sekali-kali kamu merasa gagal karena sejatinya aku adalah bukti keberhasilanmu.”
Tangisan Asiya sayup-sayup terdengar dari balik wajah yang ia sembunyikan dalam kerudungnya. Sejenak aku biarkan ia menuntaskan hajatnya dengan tetap sabar menunggu disampingnya. Aku usap-usap kepalanya berusaha sedikit menenangkan dan berharap ia dapat merasakan ketulusan cintaku padanya. Asiya adalah karang yang kokoh dengan pondasi agama dan tauhid, maka tidak akan sekalipun goyah dengan pendiriannya selama itu sudah sesuai dengan agama. Kendati demikian, ia tetaplah seorang wanita yang rapuh dan membutuhkan pundak untuk bersandar atau sekedar aku yang memegangi kedua tangannya sambil menguatkan.
“Terima kasih telah mengabulkan keinginan-keinginanku,” tidak lama Asiya tersenyum seraya menaruh kembali kaos kaki bayi yang sedari tadi ia pegangi.
“Tolong bayar ini,” ia tersenyum sambil menyodorkan keranjang belanja yang berisi rupa-rupa pernak-pernik.
Gerimis tipis masih bertaburan dari langit ketika kami berdua keluar dari area parkir gedung yang langsung terhubung dengan jalan raya. Kulihat mata Asiya masih merah meskipun kini raut wajahnya telah kembali ceria dengan sekantong Oden panas yang tengah memenuhi mulutnya.
“Tunggu dulu hujan atau bagaimana?” aku ambil satu tusuk Oden berbahan tahu dengan bentuk segitiga berwarna coklat dari dalam kantong yang ia taruh dikeranjang sepedanya.
“Kita langsung ke rumah Yuki-san saja, awas belanjaannya jangan sampai rusak atau basah ya,” Asiya menutup kepalanya dengan tudung jaket lantas bergegas pergi.
Yuki-san adalah muallaf berkebangsaan jepang berdarah campuran Filipina jamaah masjid Shizuoka sekaligus anggota Komunitas Muslim Shizuoka teman dekat Asiya. Konon ibunya dulu datang ke jepang menjadi seorang TKW pabrik selama kurang lebih tiga tahun, sampai akhirnya bertemu dan jatuh cinta dengan ayahnya yang saat itu berprofesi sebagai seorang dokter. Dia tidak beragama sampai ketika kuliah berteman dengan mahasiswa dari Indonesia dan mulai tertarik untuk belajar tentang Islam. Sudah hampir tujuh tahun ia menjadi seorang Muslimah meskipun belum istiqomah menutup aurat karena satu dan dua hal termasuk benturan dengan profesinya sebagai seorang dokter. Sejak pertama kali datang ke Jepang, Asiya dan Yuki-san langsung akrab karena mereka bisa lancar berkomunikasi dengan menggunakan bahasa inggris. Selain itu Asiya merangkap sebagai guru yang mengajarkan Yuki-san ilmu Tauhid, Fiqih, serta Tajwid dan Tafsir.
Hanya berjarak sekitar 10 menit saja dengan bersepeda dari Sunpu Park, Yuki-san tinggal di daerah Inagawa sekitar taman Morishita dekat Shizuoka Station. Rumahnya yang bergaya khas jepang didominasi warna kuning gelap dan abu-abu ditutupi oleh tumbuhan bambu kuning terlihat sangat asri dan nyaman meskipun terkesan sempit karena berdempet dengan rumah tetangganya yang bergaya kontras modern berwarna silver.
Pintu rumahnya terbuka dan terlihat banyak sepatu serta sendal berderet rapi di depan pintu.