Halim Mubarak #2
Dengan mengenakan batik tangan panjang berwarna coklat dan celana jeans hitam, Julian turun dari mobil dan menghampiri kami seraya menyerahkan kantong berisi rupa-rupa makanan olahan dari oncom serta dua ikat besar Peuyeum Bandung seukuruan tangan orang dewasa. Kini penampilannya luar biasa bersahaja dan merakyat tanpa anting-anting ataupun aksesoris mencolok mewah membungkus tubuhnya.
Didampingi seorang wanita paruh baya dengan pakaian serba hitam yang kemungkinan adalah asisten pribadinya, ibu Julian turun dari mobil dengan menggunakan kursi roda.
“Assalamualaikum,” ibu Julian menyodorkan tangannya.
“Waalaikum. Ayo silahkan masuk.” aku mengangkat kedua tanganku dan menempelkannya didepan dada sembari menganggukan kepala dan tersenyum ramah.
Awalnya aku berencana mengajak mereka untuk naik ke ruang keluarga dilantai dua. Namun melihat kondisi ibu Julian yang tidak memungkinkan untuk menaiki tangga, akhirnya kami memutuskan untuk berkumpul diruang tamu lantai bawah yang sebelumya sengaja telah dirapikan sebagai tempat penyimpanan nasi kotak untuk besok dibagikan pada fakir miskin dan masyarakat sekitar komplek.
Melihat ruangannya sedikit berantakan, aku bergegas masuk terlebih dahulu mengangkat dan merapikan gelas dan piring-piring kotor yang berserakan di lantai sebelum akhirnya mempersilahkan keluarga Julian untuk masuk. Kami duduk melingkar dengan hanya beralaskan karpet tebal dari Turki pemberian almarhum ayah yang dulu ia beli ketika jalan-jalan bersama orang tua Nurmala selepas umroh.
“Sebelumnya kami mohon maaf karena telah menyiapkan ruangan di lantai atas, saya harap Julian dan keluarga tidak keberatan duduk berdampingan dengan tumpukan nasi kotak," aku mengelap keringat yang mulai membasahi keningku karena terus berlarian ke sana kemari memunguti serpihan sampah sisa kerja bakti mengepak nasi kotak subuh tadi bersama para tetangga.
Aku mencoba bersikap seramah mungkin meskipun sebenarnya canggung karena mengetahui bahwa tamuku kali ini adalah keluarga konglomerat yang mungkin akan merasa tidak nyaman berada di dalam rumahku yang sangat sederhana. Selintas aku melihat ibu Julian memasukan sesuatu kebawah lidahnya sembari mengusap-ngusap dada dibantu oleh Dina dan asisten pribadinya.
Kondisi kesehatannya hari itu sepertinya sedang tidak baik. Aku ingat terakhir kali bertemu dengannya di acara ibadah penghiburan kematian ayah Julian sekitar satu bulan yang lalu di Bandung. Saat itu berita duka cita malah kalah heboh dengan temuan fakta bahwa rekan satu kantorku ternyata adalah seorang ahli waris dari salah satu orang terkaya di bumi pertiwi. Hanya dari nama belakangnya yang disebar melalui mail blast duka cita HRD, beberapa orang dari tim IT menemukan fakta bahwa ayahnya masuk kedalam top 200 Forbes Worlds Billionaire List The Richest tahun ini yang kekayaannya bersumber dari Gavi Resources perusahaan yang bergerak dibidang batu bara serta perusahaan energi di Singapura bernama Gavi Energy.
Aku tak ingin ambil pusing dengan kebenaran dari gosip tersebut. Setelah menghubungi Julian dan meminta alamat rumahnya, bersama Indra dan Yunus tanpa berpikir panjang kami langsung bergegas melesat menuju Bandung. Acaranya dilaksanakan disalah satu rumah mewah tiga lantai milik keluarga mereka di kawasan perumahan elit Resor Dago Pakar secara tertutup. Kabarnya mendiang ayahnya menghembuskan nafas terakhir pasca operasi by-pass jantung di Rumah Sakit Borromeus yang berada tidak jauh dari sana.
Sesampainya di kompleks perumahan, kami terkejut karena dicegat oleh banyak security berbadan besar yang memberondongi kami dengan banyak pertanyaan. Seandainya saja Julian tidak mengangkat panggilan teleponku, kedatangan kami jauh-jauh ke Bandung hari itu akan sia-sia karena petugas keamanan komplek tidak mengijinkan siapapun yang tidak berkepentingan untuk masuk. Penjagaan ketat dilakukan mulai dari sekitar area masuk perumahan sampai gerbang blok kediamannya. Hari itu tidak sembarangan orang bisa memasuki area perumahan selain penghuni setempat.
Upacara kematiannya diadakan secara tertutup dan hanya dihadiri oleh segelintir orang-orang penting dan keluarga besar. Tidak terlihat ada karangan bunga karena media telah dibungkam untuk merahasiakan hal terkait informasi acara tersebut. Julianpun tidak menyebutkan dimana ayahnya akan dikebumikan, dia hanya sebatas memberi tahu bahwa almarhum akan disemayamkan di komplek pemakaman pribadi milik keluarganya di Kediri.
Julian menyambut kami dengan setelan jas yang gagah dan rapi namun raut wajah yang berantakan. Meskipun dia masih memaksakan diri untuk tersenyum, matanya yang merah dan terlihat lelah seolah meronta-ronta menggaungkan kesedihan yang tak tertahankan. Masuk ke dalam rumah mewah dan megah seperti itu membuat hatiku berdesir, setiap hari istana seperti inilah yang aku dambakan dalam setiap do'a-do'aku kepada Sang Khalik agar kelak dibangunkan yang jauh lebih dahsyat di jannah.
Di ruangan luas mirip aula, jenazah almarhum ayahnya dibaringkan didalam peti mati mewah yang terbuat dari pohon ceri dengan setengah bagian menutupi kakinya sampai lutut, sementara sisanya terbuka sehingga para tamu masih bisa melihat tubuh dan wajahnya yang berbalut tuxedo hitam dengan jelas. Sebentar lagi rumah mewahnya tidak akan lagi menaungi dan lautan hartanya tidak akan muat apabila dimasukan ke dalam peti mati yang akan menemaninya masuk ke liang lahat. Hartanya akan diwariskan dan ia akan ditinggalkan.
Ditemani Dina disampingnya, jauh dipojok ruangan ibu Julian duduk diatas kursi roda dengan tatapan mata yang kosong seolah jiwanya tidak berada disana bersama kami.
“Kenapa kamu ajak para bangsat ini kesini?” melihat kami datang, Dina langsung berlari menghampiri dengan penuh emosi.
“Kamu apa-apaan?”
“Kamu yang apa-apaan? Tidak cukup kematian bapak menyadarkan kamu dari kegoblogan?” Dina mendorong tubuh Julian.
“Siapa diantara kalian yang namanya Halim?” Dina menarik kerah baju Yunus yang terlihat ketakutan.
“Dina cukup!”
“Atau kamu?” ia menarik kerah bajuku dengan tatapan penuh amarah.
“Cukup Dina!” Julian berteriak keras sehingga seluruh tamu yang hadir saat itu terdiam dan seketika suasana menjadi hening.
“Bawa manusia yang kamu panggil Sang Ustadz teroris itu pergi dari sini!” Dina menempelkan telunjuknya kedada Julian sembari menahan amarah yang meledak-ledak.
“Kamu yang membunuh ayah dan seumur hidup kamu harus ingat itu,” meskipun hanya samar-samar namun aku bisa mendengar dina melontarkan kalimat keji itu ketelinga Julian.
Ibunya berjalan ke arah kami dengan tertatih.
“Tolong antar tamu-tamumu ke halaman belakang sayang,” ibunya mengelus pipi Julian yang memerah.
“Dina, hormati mendiang ayahmu. Jangan nodai ibadah penghiburan ini.”
“Terima kasih telah datang, mohon maaf atas sikap anakku yang tidak sopan.”
Itulah kali pertama aku melihat dan berjumpa dengan sosok ibu luar biasa yang selama ini hanya aku dengar dari cerita Julian. Seorang ibu yang penyabar, penyayang, dewasa dan pemaaf persis dengan yang aku tangkap dan rasakan saat itu.