Glorious Ardina Gavi #1
Hanya karena beberapa detik saja dia lebih dulu melihat bumantara daripada diriku, aku harus memanggilnya kakak. Dia yang berbagi rahim denganku, kini seperti asing tak bisa aku mengenalinya. Kulitnya masih putih dengan mata yang sipit warisan leluhur, namun diluar nalar hatinya bukan lagi bagian dari diri kita.
Kalau bukan karena khawatir dengan kesehatan ibu, aku tidak ingin pulang ke rumah. Tak ada tempat untuk kembali tanpa sosok ibu bagi diriku, namun keberadaan julian disisinya seperti kanker yang menggerogoti dan membuat otakku muak. Dibalik dinding kamarnya kini ia sibuk bersenandung dengan kitab barunya, berlama – lama dengan tuhan barunya, dan menutup diri dengan ritual-ritual keagamaan pilihannya.
Hampir dua minggu sejak kematian bapak berlalu namun perih lukanya seolah masih menganga mengiris-ngiris hatiku. Bagaikan kehilangan jiwanya, ibu seperti telah ikut pergi meninggalkan kami terkurung bersama layon di dalam peti mati dibalik pusara bertuliskan nama suaminya. Kini sebagian besar hari-harinya ia habiskan untuk melamun atau membaca alkitab sendiri di kamar rumah bandung yang hampir tak pernah ia tinggalkan.
Beruntung dulu aku menuruti perintah bapak untuk menyelesaikan Master in Managementku di London Bussines School Inggris karena harus ada yang melanjutkan apa yang telah susah payah ia bangun dari nol. Sementara aku disibukkan dengan aktivitas baruku dalam upaya untuk menggerakkan bisnis keluarga, Julian seperti tidak peduli dengan semua itu dan malah menyibukkan dirinya sendiri sebagai seorang karyawan serta status barunya sebagai seorang muslim.
Aku tidak pernah bisa paham dengan pemikirannya selama ini, kepalaku langsung mendidih setiap kali melihatnya dan mengingat kejadian malam itu.
“Ya Allah Bapa, dalam nama Yesus dan pertolongan Roh Kudus, kami memanjatkan syukur atas berkat yang Kau berikan secara berlimpah hari ini dan juga berkat makanan serta minuman yang sudah Engkau sediakan bagi kami semua, amin,” kami membuka mata bersamaan dengan selesainya doa bapak.
Meskipun pada kenyataannya makanan yang setiap hari ia konsumsi itu membawa penyakit ke dalam tubuhnya, namun bapak tidak pernah sekalipun melewatkan ritual doa bersama dalam setiap kesempatan makan keluarga.
“Ada yang ingin aku sampaikan,” Julian tiba-tiba berbicara ditengah denting riuh suara garpu beradu sendok diatas piring dari keramik koleksi ibu yang mahal.
“Kenapa kau harus minta izin terlebih dulu nak, ini hanya makan malam keluarga, bukan meeting perusahaan,” bapak tersenyum sembari menyendok oat bercampur buah-buahan yang menurutku rasanya sangat menjijikkan.
Tidak seperti biasanya malam itu ibu lebih banyak berdiam diri dan nyaris tidak melontarkan sepatah katapun selama berada di atas meja makan bundar dari kayu mahoni yang dipahat bergaya eropa di ruang makan keluarga, aku melihat ketakutan dari raut wajah dan gerak-geriknya.
“Ibu tidak apa-apa kan? Kolesterol ibu naik?”
“Ibu tidak apa-apa,” sambil tersenyum sebentar kearahku yang duduk tepat berhadap-hadapan dengannya lantas ia kembali menundukkan wajah.
Gelagat ibu malam itu sangat tidak biasa.
“Kamu kenapa sayang?” bapak memegang pundak ibu.
“Aku tidak apa-apa.
Aku akan ambilkan ikan salmon lagi, tunggu sebentar,” meskipun ibu bisa memanggil asisten rumah tangga yang selalu standby di dapur, namun ia lebih memilih pergi meninggalkan kami dan bersusah payah mengambilnya sendiri.
“Oh ya nak, kamu mau bicara apa?” bapak meletakkan sendoknya lantas meneguk susu almond coklat kesukaannya.
Wajah Julian terlihat pucat dan meskipun tangannya menggenggam sendok serta garpu, namun makanan dipiringnya masih utuh seolah tidak disentuhnya sama sekali.
“Aku ingin meminta izin ayah,” sambil tertunduk suaranya bergetar.
“Izin apa?”
Julian diam tak menjawab pertanyaan bapak.
“Jangan bilang kamu menghamili anak orang Julianus,” timbalku.
“Sssssttt,” bapak menepuk punggung tanganku.
“Ada apa nak, bicaralah ayah mendengarkan,” bapak meluruskan posisi duduknya dan menatap kearah julian dengan serius.
“Aku sudah memikirkan ini matang-matang dan aku rasa sudah saatnya untuk kalian semua tahu,”
Untuk beberapa saat Julian terdiam dan entah kenapa situasi itu mengganggu hatiku, ditambah ibu yang seperti sengaja tidak kembali lagi kemeja makan membuat aku tidak nyaman.
“Ada apa Julianus bicaralah.”
Sejenak hening mengisi atmosfer ruangan sampai suara pecahan piring dari arah dapur memantik kegaduhan.
“Aku ingin pindah agama,” seperti tersambar petir hampir-hampir aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar dari mulut kakakku itu.
Kulihat bapak hanya menatap julian dengan tajam tanpa berbicara sepatah katapun.
“Astaga Julian, kamu bercanda kan? Ini tidak lucu,” aku membentaknya.
“Apa aku terlihat seperti sedang bercanda bagimu?”
“Kamu gila.”
Mataku tertuju pada wajah ayah yang memerah namun tetap tidak berkata-kata. Tangannya gemetar hebat, dan nafasnya tersengal-sengal.