Glorious Ardina Gavi #2
Hari kedua di rumah sakit bapak masih koma tergeletak tidak sadarkan diri tanpa ada kepastian dari tuhan atau dokter kapan ia akan terbangun dari tidur panjangnya. Dan selama itu pula ibu tidak melepaskan genggaman tangannya berdoa dan membaca Alkitab kecuali untuk keperluan manusiawi dan membersihkan badan serta berganti pakaian.
Sore itu aku sengaja datang ke rumah sakit setelah meeting di Bali dan mengurus keperluan kepindahan bapak ke rumah sakit Mount Elizabeth di Singapura sembari membawa makanan dan baju ganti untuk ibu.
“Bu, makan dan istirahatlah dulu. Biar Dina yang jagain bapak,” aku menghampiri ibu yang duduk terkantuk-kantuk di samping ranjang bapak yang dikelilingi oleh berbagai macam alat medis dan ventilator yang masuk ke dalam mulutnya.
“Tidak apa-apa, nanti ibu akan makan kalau sudah lapar.”
“Bu, tolong jangan egois seperti ini.
Kondisi kesehatan ibu juga tidak baik.
Dan aku tidak mau pasien yang berbaring di ranjang ini bertambah menjadi dua orang,”
Ibu hanya terdiam seraya terus memandangi bapak.
“Bu, tolong istirahatlah,” aku memeluknya dari belakang.
“Ketika bapakmu bangun, ibu ingin menjadi orang pertama yang dia lihat,” ibu tersenyum dan memegang tanganku.
Apabila telah dihadapkan dengan ibu, aku lemah tidak mampu melawan atau memaksakan kehendakku padanya.
“Yasudah Dina siapin makanannya agar ibu bisa makan disini,” aku mengeluarkan bekal yang sengaja di masak oleh Bi Siti di rumah.
Meskipun tidak separah bapak, kondisi kesehatan ibupun sama-sama mengkhawatirkan karena mengidap penyakit jantung koroner, darah tinggi dan kolesterol yang sewaktu-waktu bisa membuat ia terbaring lemas atau sesak lalu mengerang kesakitan karena kepalanya pusing seperti berputar-putar. Ibupun tidak bisa makan sembarangan dan hanya Bi Sitilah yang sudah paham betul dengan apa yang boleh atau tidak boleh dikonsumsi oleh mereka berdua karena sudah hampir 10 tahun menjadi asisten rumah tangga keluarga kita.
“Dina sudah menyiapkan segala sesuatunya bu, setelah konsultasi dengan dokter di sini kita langsung pindahkan bapak ke Mount Elizabeth di Singapura.”
“Terima kasih nak,” ibu menepuk pundakku.
“Makanya Dina mohon banget sama ibu, tolong jaga kesehatan ibu. Jangan lupa untuk makan dan istirahat.”
“Ibu sudah tidur dan makan, kakak mu yang belum tidur sama sekali dari dua hari yang lalu.”
Mukaku memerah karena mendengar hal yang sama sekali tidak aku harapkan. Dalam otakku Julian adalah penyebab dari semua kekacauan ini, dan aku belum akan memaafkannya sebelum mendapatkan penjelasan yang sejelas-jelasnya baik dari ibu maupun dirinya.
“Oh ya, Julian kemana bu?”
“Tadi dipanggil dokter.”
“Kalau begitu Dina mau nyusul Julian dulu bu ya,” aku menyimpan makanan yang sudah ku tata dan rapihkan di atas piring di meja samping tempat ibu duduk.
“Ruangan Dr. Furman ya nak,” meskipun aku sudah keluar dari kamar namun suara ibu masih bisa terdengar jelas olehku.
Aku ingat beberapa waktu yang lalu pernah mengantar bapak bertemu dengan dokter lulusan Harvard itu ketika kontrol rutin, namun lupa ruangannya berada dimana. Beberapa saat aku terlunta-lunta mencoba menemukan tempat itu hanya dengan mengandalkan peta dan penunjuk arah yang terpampang di sepanjang koridor penghubung area VVIP dan VIP, sampai aku melihat Julian yang tengah berjalan ke arahku dengan wajah tertunduk lesu.
“Sudah ketemu dengan Dr. Furman?”
Julian menghentikan langkah kakinya manakala melihat kedatanganku dan hanya menganggukkan kepalanya.
“Ruangannya dimana?” Julian membatu tidak berkata apa-apa.
“Kita pindahkan bapak ke Mount Elizabeth untuk mendapatkan penanganan medis yang lebih baik.”
Tatapan mata Julian kosong dan air mata berderai dari kedua matanya.
“Bapak baik-baik saja kan?”
Julian bukan tipe orang yang akan menangis oleh hal-hal sepele, melihat dia seperti itu ada sedikit rasa takut melintas dipikiranku.
“Dari dua hari yang lalu, dokter sudah melakukan berbagai macam tes termasuk tes fungsi otak.”
“Terus?”