Rumah Kedua

Dede Yusuf Iskandar
Chapter #7

Berdamai

Glorious Ardina Gavi #3

Setelah prosesi kematian dan pemakaman selesai, ibu meminta tetap berada di Kediri selama beberapa hari untuk beristirahat dan menenangkan diri guna menyegarkan pikiran yang tidak keruan usai mengecap sebuah kemalangan. Sebenarnya bimbang meradang manakala harus meninggalkan ibu sendirian di pedesaan yang terbilang jauh dari rumah sakit, namun dia meyakinkanku untuk tetap pergi karena ada Bi Siti serta beberapa asisten rumah tangga yang menemani disana bersama saudara kembarku. Masih ingin berlama-lama berada di sisi ibu namun karena harus ada seseorang yang membenahi dan melanjutkan roda gerak perusahaan, aku bersama Om Soesono terlebih dulu harus kembali ke Jakarta untuk menghadiri rapat umum pemegang saham dadakan yang akan dihadiri oleh para Shareholder. Sebenarnya Om Soesono adik kandung bapak yang memiliki nama asli Su Hon-Lam itu berulang kali telah mencoba untuk meraih Julian sang putra mahkota sebagai kandidat ahli waris pertama yang paling ideal untuk menggantikan posisi almarhum, namun seperti tidak peduli dia tetap bersikeras menolak dan melemparkan semuanya kepadaku.

"Dina adalah sepantas-pantasnya pengganti ayah om.

Adikku dididik langsung oleh almarhum dan memang telah dicetak untuk siap guna pada saat seperti ini.

Percayalah aku tidak kompeten untuk ini."

Selain berdasarkan pertimbangan stereotype bahwa anak laki-laki tertualah yang paling berhak jadi sang penerus tahta kerajaan, tentu saja aku adalah pilihan kedua setelah Julian sang manusia cerdas dengan segudang potensi bertangan dingin yang jadi pemeran utamanya. Ketika di luar sana banyak tragedi menyebutkan tentang saudara yang saling sikut demi mendapatkan peninggalan terakhir orang yang telah wafat bernama harta warisan, anehnya dia malah dengan begitu mudahnya melepaskannya padaku. Padahal bukan hal sulit bagi seorang manusia dengan IQ 230 seperti dirinya untuk belajar memimpin, namun masalahnya adalah sepertinya dia tidak mau dan tidak tertarik.

Sejak kecil Julian tidak suka terlihat menonjol diantara teman-temannya, dia akan meminta supir untuk tidak menjemputnya sampai gerbang sekolah hanya agar teman-temannya tidak mengetahui dia anak konglomerat. Kalau bukan ibu yang membelikan hadiah-hadiah branded dan mewah, maka dia hanya akan menggunakan barang-barang murah yang telah didiskon di pasar atau toko online.

"Aku tau bapak mengajarkan kita untuk berhemat, tapi apa salahnya menggunakan uang yang kita miliki?" sempat aku bertanya pada Julian karena kesal manakala dia menolak saat kusuruh membeli kemeja Burberry untuk acara ulang tahun ke-18 ku.

"The older I get, I realise that society is very judgmental.

pernah dengar itu?

Aku tidak mau dinilai dengan apa yang aku kenakan Dina.

Setidaknya itu yang aku pahami."

Sama persis dengan karakter bapak, Julian berpegang teguh pada pendirian dan tidak peduli dengan pendapat orang lain selama itu dirasa benar dan tidak menyalahi aturan. Meskipun selama sembilan bulan kami berada dalam rahim yang sama, namun banyak pola pikirnya yang bagiku sangat diluar nalar serta bertolak belakang dengan isi kepalaku. Ketika aku sangat menikmati menjadi pusat perhatian, maka dia lebih senang mengendap-endap di belakang seperti hantu yang tidak tidak ingin terlihat wujudnya. Sementara aku sangat berambisi dengan popularitas dan sangat menjaga citra di depan orang banyak, dia seperti masa bodo dan hanya asik dengan dunianya sendiri.

Sejujurnya aku masih belum berbicara dengan Julian sejak kejadian di ibadah penghiburan dua minggu yang lalu. Selain karena aku disibukan dengan aktivitas baruku sebagai calon presiden direktur sehingga jarang pulang ke rumah Bandung, sepulang dari Kediri Julian jatuh sakit selama hampir satu minggu dan nyaris tidak pernah keluar dari kamarnya. Ibu diberitahu oleh dokter yang setiap hari rutin datang ke rumah untuk memeriksa kesehatannya, karena stres dan kelelahan Julian harus beristirahat total sampai kondisinya benar-benar pulih. Tidak lebih baik dari ibu, sepertinya dia benar-benar terpukul dengan kematian bapak.

Beberapa hari yang lalu aku sempat bertemu dengan beberapa orang rekan kantornya yang datang menjenguk ke rumah. Meksipun tidak begitu yakin namun dari ketujuh orang yang datang waktu itu tiga diantaranya aku ingat pernah bertemu di acara ibadah penghiburan bapak. Firasatku mengatakan bahwa salah satu diantaranya adalah sosok Sang Ustadz yang tempo hari aku maki-maki di Whatsapp.

Mengingat kejadian itu aku sangat malu pada diriku sendiri, gelap mata karena emosi menjadikan otakku tumpul seperti orang tidak berpendidikan. Sungguh sangat bodoh apabila aku mengkambing hitamkan orang lain atas keputusan yang telah dipilih oleh Julian, mengingat dia bukan tipe orang yang akan dengan mudah didoktrin atau dijejali omong kosong kalau bukan berasal dari kemauannya sendiri. Namun jangankan untuk meminta maaf pada temannya, memperbaiki hubungan dengan kakakku sendiri saja belum bisa aku lakukan.

"Dina, weekend ini pulang ke Bandung ya! ibu kangen," aku tidak ingin mengecewakan ibu lantas mengosongkan semua jadwal di hari sabtu minggu ini untuk menginap di Bandung.

Setelah hampir dua minggu aku hanya makan malam dengan Om Soesono atau tamu asing yang tidak aku kenali, malam itu akhirnya bersama ibu dan Julian kami kembali berkumpul di meja yang sama untuk makan malam. Selain kerinduan akan masakan Bi Siti yang sangat enak, kebahagiaan meledak dihatiku karena akhirnya bisa melihat kembali sosok ibu yang cerah dan bergairah. Malam itu ia memakai bedak tipis dan lipstik berwarna brown nude yang membuatnya terlihat elegan, aku bahkan beberapa kali berlinang air mata karena terharu sekaligus gembira.

"Akhirnya kita makan bersama lagi," ibu sumringah sembari menuangkan nasi ke atas piringku dan Julian.

"Kamu apa kabar Din, sehat?" Julian menyapaku dengan ramah.

Wajahnya kini terlihat agak kurus dan pucat, bahkan sesekali ia masih terbatuk-batuk dan harus izin meninggalkan meja untuk pergi ke kamar kecil karena merasa tidak enak pada kami.

"Aku baik-baik aja kok. Untung ada Om Soesono yang selalu nemenin aku kemana-mana."

"Mulai sekarang kamu pasti akan sibuk banget, jangan lupa makan dan istirahat yang cukup ya," ibu menuangkan tumis cumi asin pedas kesukaanku.

"Oh ya sekarang kondisi kamu bagaimana, sudah baikan?"

"Kata dokter aku kena gejala typus, tapi Alhamdulillah biidznillah sekarang aku sudah baikan."

Aku hampir lupa kalau sekarang dia adalah seorang muslim, dan perubahan kecil dengan kata-kata yang dia ucapkan membuatku sedikit tidak selesa.

Makan malam keluarga pertama tanpa bapak malam itu sangat menyenangkan meskipun menorehkan perasaan yang bercampur aduk antara kesedihan dan kebahagiaan. Selesai makan aku mengikuti ibu pergi ke dapur untuk mengupas buah-buahan, sudah lama kami tidak berbicara dari hati ke hati yang dulu setiap malam selalu kita lakukan.

Lihat selengkapnya