Nurmalasari #1
Selesai shalat tahajud Mas Halim bergegas memanaskan mesin mobil bersiap untuk mengambil pesanan moci, kue jahe dan roti priangan pesanan Ustadz Amir yang harus di beli dari toko langganannya di Salabintana Sukabumi bersama Yunus yang sudah hampir seminggu ini tinggal bersama kami. Mengingat aku yang sedang kewalahan mengurus bayi Ustman dan tidak dapat membantu banyak, beliau sengaja menyuruh beberapa orang santri untuk tinggal dan membantu Mas Halim mengurus keperluan acara walimah sampai dengan selesai.
Meskipun Asiya meminta walimatul ursyi diadakan dengan sesederhana mungkin, tetap saja kita harus menjamu banyak tamu penting yang tidak hanya berasal dari Jakarta, Bandung, dan Sukabumi. Diantaranya Ada dua belas orang Ustadz dari pondok pesantren Imam Syafi'i Aceh yang harus kita siapkan akomodasinya selama 4 hari termasuk hotel, kemudian tamu-tamu dari sragen yang datang dengan mengendari minivan serta yang paling heboh ada total tiga rombongan mobil yang berasal dari Magelang yang konon merupakan tempat dulu almarhum ayah mertua menuntut ilmu. Alhasil rencana awal yang hanya makan-makan sederhana di rumah pada hari kedua selepas ijab qabul-pun berubah dan bertambah dengan keperluan bingkisan, cenderamata, serta sewa gedung dan lain sebagainya.
Ustadz Amir mengatur semuanya dengan terencana menggunakan Event Organizer kenalannya agar walimah diadakan sesuai syariat.
"Biar aku yang urus semuanya, insyaallah no ikhtilat" adik kandung almarhum ayah mertua yang merupakan satu-satunya keluarga Mas Halim dan Asiya itu bersikeras mengurus acara dan semua biayanya sendiri.
"Aku menganggap Asiya sebagai anak kandungku sendiri. dan aku ingin hari yang paling berbahagia baginya menjadi hari yang spesial untuk disyukuri dan dirayakan," dalihnya.
Ini bukan kali pertama beliau mengeluarkan biaya untuk keluarga kami. Meskipun baru tahu dari Mas Halim beberapa bulan setelah kami menikah, ternyata beliau juga yang membiayai walimatul ursyi kami berdua dulu.
Beliau memang dikenal sebagai sosok penyayang dan dermawan yang tidak pernah segan mengeluarkan hartanya dijalan Allah. Pantas saja rejekinya tidak pernah habis-habis seperti yang telah Allah janjikan bahwa sedekah tidak mengurangi hartamu tapi menambahnya.
Seperti mimpi aku nyaris tidak percaya kalau Asiya akan segera menikah. Dengan disaksikan oleh Mas Halim, Ustadz Amir dan Aba yang sedang datang berkunjung dari Martapura, Abdullah menepati janjinya untuk mengkhatamkan Al-quran dan kitab Bulughul Maram seperti yang diminta oleh Asiya sebagai syarat pernikahan mereka dua minggu yang lalu. Namun tidak hanya sekedar mengkhatamkan, Abdullah telah menghafal 15 Juz dan selesai membaca kitab terjemahan Umdatul Ahkam, Riyadus Sholihin, Lum’atul I’tiqad, dan Al-Ghayah wa At-Taqrib yang membuat Ustadz Amir langsung menitikan air matanya. Beliau sangat terharu sekaligus mengagumi kecerdasan pria yang baru saja mengecap manisnya hidayah itu.
"Masyaallah anakku Abdullah, semoga Allah memberikan keberkahan pada umurmu dan teruslah menuntut ilmu di jalan Allah," Ustad Amir menepuk-nepuk pundak Abdullah seraya tak kuasa menahan linangan air mata kebahagiaan.
“Apabila sebelumnya aku meragukan keputusan Asiya untuk menerima lamaran pemuda itu, kini aku merasa yakin insyaallah Abdullah adalah pilihan yang paling tepat untukmu nak.”
Senyum kecil mengembang dari wajah cantik adik iparku manakala mendapati semua orang merestui bakal calon suaminya itu. Gejolak batin yang membebani hatinya setahun belakangan ini tidak sia-sia dan akan segera berakhir. Namun ada rasa sedih dihatiku apabila teringat harus berpisah dengan adik sekaligus sahabat dekatku itu.
"Aku akan sangat merasa kehilangan," gumamku sedih dalam hati.
Selain aktivitasnya sebagai mahasiswa di LIPIA, seluruh hari-harinya dihabiskan bersama ku di dalam rumah. Apabila tidak berangkat ke kampus, Asiya tidak pernah keluar rumah sendirian. Apabila terpaksa ke luarpun maka harus ditemani oleh Mas Halim atau minimal bersamaku. Dia sangat menjaga pandangan, pendengaran dan pembicaraanya, dimataku dia adalah sosok gadis sempurna yang tidak memiliki cela bahkan setitikpun. Meski hanya sebatas adik kandung suamiku, namun hubungan kami lebih dari sekedar setali saudara ipar. Tidak ada bahkan kebiasan terkecil paling rahasia dalam diri kami yang tidak diketahui satu sama lain, kami seperti terlahir dari rahim ibu yang sama begitu dekat dan erat.
Rasanya seperti baru kemarin momen ketika Abdullah mengkhitbah Asiya melalui Mas Halim setahun yang lalu. Waktu itu kami berada di mobil dalam peralanan kembali dari Sukabumi menuju Jakarta.
“Ada yang mengkhitbah kamu lagi dik,” tanpa basa basi Mas Halim tiba-tiba mengagetkan kami semua.
“Asiya kenal orangnya mas?”
“Itu lo yang waktu itu ketemu pas di Malang, yang ganteng banget kayak artis Korea,” Mas Halim tertawa.
Asiya tidak menjawab dan seketika raut wajahnya berubah dingin.
“Kenapa Asiya? Orangnya tidak baik kah?” aku memegang tangannya.
“Kenapa Mas Halim tidak langsung tolak saja?”
Aku kaget kenapa Asiya langsung menjawab seperti itu.
“Loh, mas kan diberi amanat untuk menyampaikan. Kalau tidak disampaikan nanti dosa dong.”
“Tapi mas sudah tahu kan jawaban Asiya akan bagaimana!”
“Loh emangnya kenapa? Siapa orangnya mas, teman kantor?” aku kebingungan.
“Dia teman baikku di kantor.”