Asiya #1
Aku duduk di samping jendela kamar lantai dua sembari memandangi hujan deras di antara kabut putih tebal yang sedari subuh mengguyur semesta membanjiri tanah tandus dengan berkah tidak terhingga tempat bagi para manusia berlalu lalang untuk mengisi perut dengan yang halal dan yang haram demi kelangsungan hidup mereka dan sanak keluarganya. Langit gelap menghalau pergi teduhnya sinar mentari dan menggiring datang sang kelam yang muram. Sebagaimana rasulullah takut dengan kehadiran mendung gelap yang merupakan mukadimah azab yang Allah berikan kepada umat-umat dimasa silam, aku dicekam rasa gelisah karena iring-iringan calon suamiku yang seharusnya sudah tiba dari satu jam yang lalu masih belum datang.
"Shalat dhuha dulu yuk," tiba-tiba Mba Nur menepuk pundakku.
Terhanyut dalam lamunan sampai membuatku tidak sadar dengan keberadaannya.
"Astaghfirullah, maaf mba. Asiya keasikan memandangi hujan," aku beranjak dari tempat dudukku.
"Sejak kapan gadis cantik ini jadi suka hujan?" Mba Nur mendekat sembari tersenyum menggodaku.
"Tadi Abdullah menelpon Mas Halim, insyaallah tidak lama lagi mereka akan sampai. Macet katanya banjir," Mba Nur menarik tanganku dan duduk di tepian ranjang yang telah di hiasi oleh bunga-bunga yang dipetik langsung dari perkebunan di Bandung milik kolega keluarga Abdullah yang dikirimkan kemarin sore.
"Tenang saja Asiya, insyaallah everything's gonna be ok," Mba Nur merapikan hijab dan cadar berwarna putih yang aku kenakan.
Aku memandangi sekeliling kamar yang hari itu terlihat sangat asing dan berbeda. Bungkusan kado yang belum aku buka menggunung tinggi di sudut kamar yang telah dihias dengan kain sutra berwarna vanilla senada dengan warna warni bunga dan dekorasinya. Aku mengurungkan diri untuk mencari tahu isi dari bingkisan-bingkisan itu setelah mendapati satu buah tas Hermes seharga motor dari salah satu kado yang secara acak aku buka kemarin.
"Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah," berulang kali aku menarik nafas panjang seraya terus berdzikir dalam hati berusaha menenangkan diri.
Seolah masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa malam ini akan ada seorang laki-laki asing yang tinggal dan tidur berdampingan bersamaku di ruangan ini, jantungku tidak henti-hentinya berdebar kencang tidak terkontrol. Wangi harum semberbak bunga-bunga yang sejatinya sangat aku sukai entah kenapa didetik-detik itu terasa amat menyesakkan dada.
"Mba juga dulu nervous banget ketika menunggu ijab qabul Mas Halim dan Aba di masjid samping rumah. Kamu tahu sendiri bagaimana tersendat-sendatnya Mas Halim saat itu, apalagi Mas mu itu sempat beberapa kali salah ucap karena saking gugupnya, jadi mba paham betul apa yang kamu rasakan sekarang."
Mba Nurmala tak henti-hentinya memandang dan mengagumi tanganku yang semalam telah dihiasi henna oleh seorang wanita dari salon kecantikan muslimah tempat aku biasa merawat diri.
"Masyaallah, cantik sekali henna nya."
"Padahal kan kita bisa pakai henna bareng-bareng mba semalam."
"Ah enggak, kan yang pengantin kamu. ngapain mba ikut-ikutan."
"Lho memangnya kenapa? memakai henna adalah perkara muamalah yang mubah bahkan dianjurkan oleh Rasulullah sebagai pembeda antara laki-laki dan perempuan. Bahkan sebagian ulama menganggap mewarnai tangan wanita dengan henna itu hukumnya mustahab lo mba. Selain itu berhias bagi suami kan juga ibadah mba."
Mba Nur hanya tersenyum sembari terus memegangi tanganku.
"Kalian sedang apa?" terdengar suara Mas Halim dari balik pintu.
"Mas izin masuk ya?"
Mas Halim masuk ke dalam kamar sembari membopong setumpuk bingkisan kado yang hampir membuat wajahnya tidak kelihatan.
"Masyaallah, sudah datang lagi nih padahal yang kemarin saja belum dibuka," Mas Halim tertawa lantas meletakannya bersama tumpukan kado yang lain.