Julianus Gavi #3
Tiga hari telah berlalu sejak upacara kematian ayah dan aku masih berada di rumah eyang di Bukit Podang Kediri bersama ibu. Sejak tiba di rumah masa kecil almarhum ayah itu ibu mengurung diri dan tidak pernah beranjak dari kamarnya. Semua orang kecuali aku telah mencoba untuk membuat ibu keluar dari persembunyiannya namun tidak ada yang berhasil. Bahkan eyang sajapun telah menyerah mengetuk pintu dan mencoba membujuknya untuk keluar. Sementara aku yang terlalu takut untuk berbicara dan menatap kedua mata ibu hanya bisa terdiam lantas memilih untuk menjauh. Hanya Bi Siti yang selalu dipanggil oleh ibu dari balik pintu untuk mengantar makanan dan membersihkan ruangan, itupun tak lama hanya berkisar sepuluh menit. Kata Bi Siti ibu terlihat baik-baik saja dan sepertinya ia menghabiskan hari-hari di dalam kamarnya untuk membaca alkitab dan menulis sesuatu. Bi Siti hanya mengganti seprei, menyapu dan mengepel ubin kamar serta wc, terakhir menaruh makanan dan minuman lalu keluar lagi, ia terlalu takut untuk bertanya atau sekedar mengintip apa yang sebenarnya ibu tulis di dalam sana. Tapi setidaknya kami merasa lega karena ibu masih sehat dan tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Mungkin ia hanya membutuhkan waktu bersendirian untuk menata dirinya.
Kalau bukan karena pertolongan dari Al Waliyy melalui Halim dan teman-temanku, mungkin pikiranku pun akan keruh seperti beliau. Stress lantas kehilangan seluruh motivasi hidup. Meskipun kulakukan secara sembunyi-sembunyi, alih-alih meratapi kesedihan aku semakin giat belajar shalat dan mempelajari Al-qur'an yang menjadi benteng kewarasan otak serta pikiran. Harus berusaha keras untuk menghindari mata penghuni rumah, balkon lantai tiga yang menghadap langsung ke gunung wilis menjadi tempat favoritku untuk menghabiskan waktu dan mencerahkan pikiran. Selain view pemandangannya yang sangat menyejukkan mata, eyang tidak akan bisa mengakses tempat ini dengan kursi rodanya.
Aku sedang duduk sendirian di ruang tamu ketika eyang tiba-tiba datang menghampiri.
"Sebegitu mempesonanyakah gunung wilis nak?" Bi Ani yang setiap hari merawat eyang meletakan kursi roda tepat di sampingku lantas pergi meninggalkan kami berdua.
"Dari seluruh tempat yang ada di rumah ini, rooftop dan ruangan inilah yang paling aku sukai eyang."
"Dulu ayahmu juga paling suka menghabiskan waktu membaca buku berjam-jam di sini sambil memandangi gunung wilis yang katanya mistis itu."
Aku melihat pantulan bayanganku sendiri yang tengah duduk berselonjor kaki berdampingan bersama nenekku diantara pemandangan gunung wilis yang terhalang dinding kaca selebar enam kali tiga meter berjarak lima ratus senti di depan kami. Meskipun samar aku dapat melihat rambut putih sebahu wanita berusia hampir delapan puluh tahun itu tepat berada di samping kiriku.
"Mistis?"
"Tidak ada puncak gunung yang tidak dikaitkan dengan hal-hal mistis, termasuk gunung wilis."
"Eyang percaya dengan hal mistis?"
"Tentu saja."
"Menurut eyang, apakah ada orang di puncak gunung wilis itu sekarang?" aku mengangkat telunjukku dan mengarahkannya tepat ke puncak gunung tertinggi gunung wilis yang kala itu tertutup awan.
"Puncak yang mana?"
"Itu puncak gunung wilis yang ada di depan kita sekarang?"
"Iya yang mana?"
"Maksud eyang?" aku mengernyitkan alis kebingungan.
"Karena saking luasnya gunung wilis kabarnya memiliki empat puluh puncak yang tersebar di enam wilayah kabupaten, termasuk Kediri. Jadi puncak yang mana yang kamu maksud?" eyang mengangkat pelan tangannya mendekati tanganku yang tengah memegangi Alkitab.