Pukul satu dini hari mata Sara belum juga bisa terpejam. Ia sudah berusaha tertidur sejak dua jam yang lalu, tetapi bayangan esok hari menyulitkannya. Ada banyak pertanyaan dalam diri Sara saat tahu hari esok tinggal beberapa jam lagi. Degup jantungnya semakin sulit dikontrol, mungkin itulah penyebab utama Sara insomnia.
“Ah! Kalau nggak tidur besok mataku bisa bengkak.” Sara duduk di tepi ranjang.
“Gimana ini? Telepon Fab. Ah, jangan. Kalau Fab juga kurang tidur, takutnya ijab kabul jadi nggak lancar.” Sara memukul kepala. Kecemasan berlebihan kerap kali menghantuinya.
“Sshhh! Sshhh!” Suara itu seperti memanggil. Sara sempat tersentak dengan ketukan di jendela. Ia berharap salah mendengar tetapi suara yang terus memanggil dengan isyarat membuatnya paranoid.
Takut-takut Sara berjalan mendekat. Bayangan seseorang membuatnya semakin takut. Siapa yang berani memanjat balkon kamarnya? Penjahat? Sara yakin dengan benar ia tidak punya mantan pacar psikopat, lalu bayangan siapa yang nekat mengetuk jendela?
“Fave, it’s me!”
“Fave?”
Cuma Fab yang memanggilnya seperti itu.
Jadi bayangan itu Fab? Bagaimana bisa?
Sara membuka tirai jendela dan menemukan sosok Fab dengan tatapan tak percaya. Lalu, ia membuka kaca jendela sehingga Fab bisa masuk ke dalam kamar seperti pencuri. “Fab? “Ngapain malam-malam ke sini? Fab, kamu nggak seharusnya ke sini. Kamu harusnya istirahat biar besok kelihatan segar. Untuk apa kamu—”
“Sssttt!” Fab membekap mulut kekasihnya. Kemudian, ia menurunkan tangan dari wajah Sara. “Kalau kamu ngomong terus, kapan giliranku?”
Sara berhenti bicara ketika Fab memandanginya tanpa berkedip. Ia pun tak bisa berkonsentrasi saat itu. Fab seolah membekukannya. Dalam cahaya remang-remang ia masih bisa melihat bola mata hitam Fab yang berbinar. Ada kerinduan yang dapat dimengerti Sara karena mungkin ia juga menyiratkan perasaan yang sama dalam penglihatannya.
“Fa-Fab?” Kedua alisnya saling bertaut.
Fab tidak berminat menjawab dan langsung menarik Sara ke dalam pelukan.
“F-fave?” Sara semakin bingung dengan perangai Fab malam ini.
“A-ada apa?” tanyanya seraya membalas pelukan Fab dengan ragu-ragu.
Fab menarik napas dalam kemudian membuangnya perlahan.
“I miss you so much. Aku nggak sabar lagi nunggu besok. Itu alasan aku ke sini. Aku kangen banget sama kamu,” jelasnya dengan sangat tenang.
Sara tersenyum samar. Menyenangkan sekali mendengar kalimat Fab. Seperti mendapat angin segar. Ia pun tak ingin berpisah dari Fab meski hanya sesaat. Sara ingin Fab terus memeluknya seperti itu.
“Belakangan ini jadi hari tersulit buatku. Gimana sama kamu?”
“Hm.”
Fab tersenyum saja mendengar jawaban Sara. Ini memang salahnya. Tetapi ia tidak menyesal sama sekali.
“Aku juga. Bisa denger, nggak?”
“What?”
Sara mendorong Fab. Lantas menarik salah satu tangan Fab dan menempelkan di atas dada.
“Detak jantungku. Ini untuk kamu,” lanjutnya dengan semringah.
Fab mengangguk pertanda ia bisa mendengar detak jantung Sara yang seperti genderang perang. Kemudian, ia melepaskan genggaman dari Sara dan menarik kepala Sara ke atas dada.
“Apa kamu juga bisa denger? Waktu Bian mau nikah dulu, kupikir dia nggak ngerasa horor gini.”
Sara terkikik di atas dada Fab. Detak jantungnya malah lebih hebat lagi berdetak. Sementara kedua tangan Fab kembali merengkuh punggung Sara. Mereka kembali berpelukan untuk beberapa saat.
“Fave, mau nggak kamu janji?” tanyanya seraya mengusap rambut Sara. Saat gadis dalam pelukannya itu mengangguk, Fab meneruskan kalimatnya. “Janji kita akan sama-sama terus, baik di dunia maupun di surga nanti, ya.”
Sara mengerutkan kening. Kepalanya pun terangkat untuk menatap wajah Fab yang dilanda kecemasan. “Kenapa kamu ngomong gitu?”
Fab menarik kedua ujung bibir sebentar kemudian menarik tangan Sara kembali ke dalam genggaman. “Aku pengin perjodohan kita ini juga terjadi di akhirat nanti.”
Sara makin bingung. Ia sebal. Bisa-bisanya Fab berpikir terlalu jauh seperti itu? Bukannya ia tidak ingin bersama Fab di kehidupan sebenarnya nanti. Tetapi permintaannya membuatnya sedikit cemas. “Fave, ngomong apa, sih? Kejauhan!”
“Aku mau kamu janji, kalau cuma aku di hati kamu.”
“Done!” jawabnya cepat.
“Aku mau cuma kamu yang menjadi teman hidupku dan mendampingiku sampai tua nanti.”
“Promise!”
“Kalau salah satu dari kita ada yang pergi, janji jangan ada yang nikah lagi, ya.” Fab menyeringai sementara matanya penuh pengharapan.
“A—eih? Pergi? Maksud kamu?”