Gyana masih sibuk memerhatikan diri di depan cermin, terutama perutnya yang belum juga mengembung. Sejak dinyatakan hamil, Gyana selalu memulai harinya dengan bercermin untuk mengukur seberapa besar perutnya dengan meteran.
“Tujuh puluh tujuh, udah luGyanan gede.” Senyumnya begitu lebar. “Sayang, tumbuh dengan sehat, ya. Kita semua di sini udah nggak sabar nungguin kamu lahir. Kamu pasti akan jadi anak yang paling beruntung karena dikelilingi keluarga yang luar biasa. Kebahagiaan kami akan semakin sempurna jika kamu sudah hadir di tengah-tengah kami.”
Gyana selalu saja membayangkan. Saat bayinya lahir, ia bisa menyentuh tubuh rentan tersebut dengan perasaan antara gemas dan takut. Gyana tidak sabar ingin menjadi orang pertama yang melihat anaknya tumbuh dan berkembang. Menjadi saksi ketika untuk pertama kalinya anaknya berbicara dan menuturkan ‘mama’. Gyana juga tidak sabar ingin menjadi satu-satunya orang yang menitah langkah-langkah pertama anaknya hingga akhirnya bisa berlari untuk memeluknya. Membayangkannya saja Gyana sudah merasa sangat bahagia. Benar kata banyak orang, menjadi seorang ibu adalah masa-masa di mana setiap wanita menjadi sempurna.
Mengandung buah hatinya dengan Bian selama empat bulan ini tidaklah mudah baginya. Sampai detik ini, rasa mual masih dirasakan jika berdekatan dengan Bian. Alhasil, Bian meninggalkan parfum yang menurutnya menyengat dan hanya mengandalkan wangi pelembut pakaian. Bian masih beruntung, Gyana rewel hanya soal parfum karena perkara ngidam, Gyana tidak pernah menginginkan hal yang aneh ataupun menyeleneh.
“Gyana.”
Gyana refleks menoleh ke arah pintu. Ayu datang mendekat terlihat menggeleng heran. Mungkin Mami sempat mendengarnya berbicara dengan janinnya tadi. Kentara sekali dengan senyum tipis dan pandangan meledek Mami pada Gyana.
“Mami, kapan aku bisa bebas dari susu itu?” Gyana menghela napas berat. Baru melihat segelas susu di tangan Mami saja sudah membuatnya enek, apalagi harus meminumnya?
Seumur hidupnya, Gyana tidak pernah meminum susu rasa apapun. Ia tidak pernah menyukai minuman yang satu itu. Dan empat bulan terakhir, Gyana menjadi hari-hari penuh pengorbanan.
Tetapi Mami tidak pernah mengacuhkan Gyana. Itulah sebabnya siang ini Mami masih melaksanakan tugas rutinnya, memberikan susu hamil untuk Gyana. Jika bukan Mami yang membawanya dan memastikan Gyana menandaskannya, Gyana pasti akan membuang susu tersebut.
“Kamu nggak akan bebas dari susu ini sebelum anak kamu lahir.”
“Mami, itu kan masih lama. Ish!” Gyana merajuk dan beralih ke tempat tidurnya. Dengan wajah memberengut, diselonjorkan kedua kakinya dan bersandar. Menghindari Mami dan segelas susu hamil.
“Jangan begitu dong, Gy. Ingat, kamu tuh sekarang harus mentingin gizi anak kamu. Jadi jangan egois begitu.” Nasihat Mami keseribu juta kalinya.
Setiap kali Gyana menghindar atau beralasan untuk tidak meminum susu, Mami selalu bisa membuat Gyana tak punya pilihan. Dan sekalipun Mami tidak pernah gagal untuk hal itu.
Setengah hati Gyana meminum susu buatan Mami dan cepat-cepat meneguk air putih untuk menetralkan rasa vanila di lidahnya. Sesudahnya ia pun bernapas lega dan kembali mengusap perutnya yang belum juga membuncit.
“Bulan keempat memang belum buncit, Gy,” kata Mami seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Gyana.
Gyana tersenyum saja. “Iya nih Mi, rasanya nggak sabar nungguin si dedek makin gede di dalam. Nggak masalah deh kalau tambah berat. Mami dulu waktu mengandung Fabian pasti ngerasa lebih berat lagi ya, soalnya mereka berbagi rahim Mami.”
“Gyana.”
“Eh, ada Mami juga?”
Kali ini suara berisik Fab dan Sara membuat Mami juga Gyana refleks menoleh ke arah pintu.
“Ada apa?” tanya Mami mewakili Gyana yang hanya bisa melihat kedatangan Fab dan Sara dengan kening berkerut-kerut.
Fab dan Sara saling melemparkan pandangan dengan senyum yang terlihat misterius. Membuat Mami dan Gyana semakin bingung saja.
Sara mencebik dan menarik sebelah tangan Gyana. “Ayo ikut. Sudah jauh-jauh hari aku sama Fab kerja keras untuk kejutan ini.”
“Kejutan—”
“Mami juga harus liat,” sela Fab membuat penasaran Gyana semakin menjadi-jadi.
“Kejutan apa, sih?”
Fab mendengus pelan. “Daripada nanya terus, kenapa nggak ikut aja? Ayo!”
***
Fab dan Sara membawa Gyana ke sebuah kamar yang sebelumnya dihuni oleh Yangti. Kamar tersebut tidak pernah dimasuki orang, kecuali ketika dibersihkan, setelah Yangti meninggal dunia dua tahun lalu. Itulah sebabnya Mami dan Gyana menjadi bingung dengan alasan Fab dan Sara membawa mereka ke kamar tersebut.
“Are you Ready?”
Gyana mengangguk ragu dan juga tidak sabar melihat kejutan apa yang telah disiapkan Fab dan Sara untuknya.
“Surprise!” Fab dan Sara serentak membukakan pintu.
Begitu Gyana memasuki ruangan berukuran 10 meter persegi itu, ia merasa berada di sebuah kamar anak-anak. Warna-warna yang berpadu membuat Gyana bertanya-tanya, kamar siapa yang sedang ia masuki sekarang? Setahunya, kamar yang terletak paling pojok di lantai dua tersebut sengaja dikosongkan semenjak Yangti tiada. Sekarang kamar itu telah disulap menjadi kamar anak-anak.
“Ini kamar untuk anak-anak kita kelak. Setidaknya sebelum mereka benar-benar gede, mereka akan disatukan di kamar ini supaya keakraban dan persaudaraan mereka terbangun sejak dini,” cetus Sara mendekati Gyana untuk menghentikan rasa takjubnya akan kertas dinding vinil bergambar kupu-kupu biru dan pink yang beterbangan ke arah pelangi raksasa di sisi utara kamar.