Rumah Kita

Vivie Hardika
Chapter #11

Bahagia Tetaplah Bahagia

“Ayolah, Fave. Susu yang itu bikin nggak mual lagi.” Fab terus merengek pada Sara. Meminta sesuatu yang seharusnya tidak begitu pantas dikonsumsinya. Meskipun dalihnya untuk menetralisir rasa mual.

“Tapi, Fave, masa susu hamil, sih?” Sara menatap ngeri. Tak habis pikir dengan keinginan Fab yang sangat aneh ini. 

“Dari mana kamu tahu kalau susu itu bikin mual kamu hilang?” Sara menyipitkan kedua matanya.

“Kemarin Gyana ngasih susu itu ke aku. Katanya walaupun dia nggak suka minum susu, dia nggak bisa memungkiri bahwa susu itu bikin mual yang dialaminya hilang. Yah?” Fab mengguncang-guncang tangan Sara dan bertingkah seperti seorang anak kecil yang minta dibelikan es krim oleh ibunya.

“Aku tahu kamu yang ngidam, tapi yang hamil tetap aku. Harusnya aku yang minum susu itu, bukannya kamu.”

Sara menggeleng kepala beberapa kali. Masih belum percaya kalau Gyana telah memberikan susu itu kepada Fab. Sara berpikir keras, kira-kira apa yang ada di dalam pikiran Gyana saat memberikan susu khusus kaum wanita itu pada Fab? Meskipun Fab yang mengalami ngidam, tidak berarti Fab juga harus minum susu hamil. Bagaimanapun juga bayinya tetap berada di dalam perut Sara.

 “Kalau kamu nggak mau nurutin keinginan aku ini, sih? Nanti anak kita ngeces lho.” Fab mengusap perut yang datar sambil mengedipkan mata.

Mata Sara membola. Lantas, ia memindahkan tangan Fab ke perutnya. “Bayinya tetap di sini, Fave, bukan di situ.”

Fab tertawa geli, bahkan sampai menutup mulutnya yang tertawa. 

“Seandainya bisa, aku juga pengin pindahin bayinya ke perutku,” katanya enteng.

“Beuh!” Sara menaikkan kedua alis.

Fab menggenggam kedua tangan Sara dan mengecupnya. “Jika bisa, aku pengin ngegantiin tugas kamu mengandung juga melahirkan. Aku nggak pengin cuma kamu yang ngerasain semua itu. Karena aku pengin kita berbagi kesakitan itu, Fave.”

Sara tidak tahu kapan tepatnya merasakan hawa panas di daerah pipinya. Kemudian, ia mengusap ujung mata yang sempat berair. 

“Oh, Fave. Sampai bumi terbelah jadi delapan bagian, itu nggak mungkin terjadi Fab. Kamu ngaco banget tauk.” Sara menarik tangannya lantas berdiri untuk mengurangi rasa haru oleh kalimat-kalimat Fab.

Fab mengeluarkan ekspresi meledek di wajahnya. Sejurus kemudian, telunjuknya mencolek hidung Sara yang mengembang. “Ciye, baper.” 

Langsung saja pukulan menyerbu bahu Fab bertubi-tubi. Sara bahkan tidak peduli kalau suaminya mulai kesakitan. Setelah puas, ia pun keluar untuk memenuhi permintaan Fab yang tidak dinalar logika itu. Rona merah dan kembangan senyumnya pun belum berubah saat menuruni anak-anak tangga. Tak bisa dipungkiri jika kalimat Fab tadi membuatnya sangat terharu. Fab merasakan ngidam menggantikan dirinya saja sudah termasuk sulit dipercaya dalam kamusnya. 

Orang-orang bilang jika suami ngidam saat istrinya hamil berarti rasa cinta dan kasih sang suami tidak terbatas kepada istrinya. Meskipun Fab tidak ngidam, Sara juga tidak akan meragukan cinta Fab sedikitpun. Sara sepenuhnya percaya pada Fab.

Ketika tiba di ruang keluarga, Sara melihat Gyana menonton televisi sendirian. Langkahnya jadi terhenti begitu menyadari kalau Gyana tidak begitu serius pada tontonannya. Sara bahkan bisa melihat Gyana sempat menghela napas berat. Seperti seseorang yang baru saja melepaskan beban berat di dalam dada.

Sara tercenung sepanjang perjalanan menuju dapur. Ia kembali mengingat kalimat yang sampai hari ini masih menjadi penyesalannya. Tentang celetukan Sara yang mengatakan bahwa kamar anak-anak mereka akan segera terisi. Dan jawaban Gyana waktu itu juga ikut mencabik hatinya yang terdalam. Sisi lain di hatinya mengatakan bahwa Gyana tidak begitu bahagia dengan kehamilannya namun berhasil menutupinya dengan sangat rapi. Sara bisa memahami perasaan Gyana. Mungkin kebahagiaan atas kehamilannya tidak perlu diumbar-umbar demi menghargai perasaan Gyana, pikirnya.

“Fab udah nggak mual lagi, Ra?” tanya Mami sesampainya Sara di dapur. Ibu mertuanya itu tengah mengupas buah apel untuk camilannya.

Sara terkesiap dari lamunan dan baru ingat untuk apa ia kembali ke dapur. 

“Katanya Fab nggak akan mual kalau minum susu hamil, Mi,” lanjutnya sembari mengambil gelas dan kotak susu di almari.

Pisau yang digunakan Mami nyaris saja mengenai tangannya. Mami masih belum juga percaya kalau Fab ingin susu hamil. Banyak kerutan yang kemudian memenuhi dahi Mami. “Susu hamil? Fab ngidam susu hamil?” 

Sara hanya mengangguk. Kedua tangannya cukup cekatan membuat segelas susu hamil yang seharusnya menjadi minumannya. “Makanya aku mau buatin.” 

“Kok aneh, ya?” Mami tampak berpikir keras kemudian terlihat mengabaikan keanehan yang terjadi pada putranya.

Alih-alih menimpali kebingungan Mami, Sara memilih melanjutkan apa yang ia pikirkan tentang Gyana tadi. Ingin sekali ia melakukan sesuatu agar Gyana tidak merasa sedih atas kesulitan yang dialaminya. Dan ia baru saja menemukannya.

“Mi, aku rasa kehamilanku ini momennya nggak tepat. Jadi aku kepengin keluarga kita bersikap biasa saja. Nggak perlu terlalu bahagia.”

Mami menautkan kedua alisnya. “Biasa aja? Maksud kamu?”

Sara berhenti mengaduk susu Fab, menarik napas dalam, dan siap menjelaskan. Meski berat, Sara sudah memikirkan cara tersebut adalah yang terbaik. “Begini, Mi. Aku kepikiran sama Gyana. Setelah apa yang terjadi padanya, bukan nggak mungkin Gyana merasa sedih. Aku takut kehamilanku juga reaksi keluarga kita akan membuatnya bertambah sedih. Jadi, aku berpikir kalau sebaiknya kita bersikap biasa saja, seperti tidak ada yang hamil.” 

“Kenapa keluarga ini nggak boleh terlalu bahagia?”

“Apa, Mi?”

“Apa?” Mami malah balik bertanya.

Sepertinya Sara salah dengar. Terlebih ketika Mami menggeleng karena merasa tak mengatakan apapun padanya.

“Kenapa, Ra?”

Lihat selengkapnya