Rumah Kita

Vivie Hardika
Chapter #12

Tragedi

Sara baru selesai menghabiskan makan siang saat layar di ponsel menunjukkan nama Fabby—kombinasi dari Fab dan Hubby. Sebelah tangannya memegang ponsel sementara yang sebelah lagi mengambil gelas untuk membuat susu. Susu yang sama dengan yang sempat dipesan Fab sebagai pereda mual.

Hello, Mommy,” suara bas laki-laki di seberang telepon membuat perempuan berusia 26 tahun itu semringah.

Hello, Daddy,” sapanya seraya mengusap perut yang membuncit. “Kalau masih empat bulan udah panggil Mommy dam Daddy pamali nggak, sih?” tanyanya seraya mengaduk susu hamil yang baru saja ia seduh.

Dari seberang ia mendengar suara suaminya tertawa. “Nggak usah parnoan gitu. Oh, iya, aku tadi beli baju calon bayi kita. Lucu deh. Warnanya biru. Universal lah. Cocok buat cowok sama cewek.”

Bersamaan dengan itu suara klakson berderang nyaring di telinganya dari seberang telepon. Calon ibu muda itu tidak jadi melanjutkan ritual kehamilan.

“Kamu masih nyetir?” Ia menurunkan gelas yang tadinya nyaris mengenai sudut bibir. “Kamu tuh kalau lagi nyetir jangan nelepon, matiin buruan.”

Suara klakson bersaut-sautan membuatnya susah menangkap suaminya. “Iya, ada pengendara motor yang trek-trekan di jalan. Dari tadi aku klakson nggak mau minggir. Mereka kayaknya lagi atraksi. Eh, halo….” Suara klakson bersaut-sautan membuat Sara susah menangkap suara suaminya.

Hatinya berdesir. Entah kenapa setiap klakson yang berbunyi seolah menyakiti relung hatinya, bukan hanya telinganya.

“Iya udah kamu hati-hati—”

“Iy—AH! Berengsek! AAAGGHHH!”

CIIIITTT! BRAAAKKKK! BAMMM!

Perempuan yang tengah mengandung buah cintanya selama empat bulan itu tercekat di tempatnya berdiri. Sekujur tubuhnya bergetar hebat kala bunyi dentuman keras mengenai pendengarannya. Ia ketakutan.

Suara dentuman begitu jelas terdengar dari seberang telepon. Sara tercekat di tempatnya berdiri. Sekujur tubuhnya bergetar hebat kala bunyi dentuman keras mengenai pendengaran. Ia ketakutan dan segala jenis pemikiran negatif menyergapnya. Sara masih menempelkan ponsel di telinga saat suara gemeresik menguasai pendengaran.

Fa-fave?” Sara berusaha meyakinkan diri bahwa Fab baik-baik saja. 

Sambungan terputus tiba-tiba

“Fabian!” jerit Sara.

Sekujur tubuhnya melemas seketika. Bahkan untuk menahan ponsel terus berada dalam genggamannya pun tak sanggup lagi. Sara melorot. Air matanya memenuhi wajah dalam diam. Tubuh menggigil ketakutan. Bayangan hitam terus menghantuinya dan semakin lama bayangan itu membuatnya terguncang.

“Mbak Sara? Mbak, ada apa?” Jiro tiba-tiba masuk ke dapur dan mendapati Sara bergelung di lantai dengan tubuh kejang dan tangis yang tak kunjung mereda. Ia mendekat dan ingin membantu Sara, namun Sara tetap terisak bahkan semakin keras.

Jiro buru-buru mengangkat tubuh Sara dan menidurkannya di atas sofa lalu berlari mencari Gyana. Jiro tahu kedatangannya yang terburu-buru membuat Gyana menjadi bingung.

“Mbak Gyana… Mbak Sara… Mbak... Mbak Sara.” Napasnya terengah-engah. Sejujurnya Jiro juga menjadi panik melihat keadaan Sara yang tanpa angin tanpa hujan menggigil di lantai dan tangisan.

Begitu Gyana mengecek keadaan Sara, semuanya membingungkan baginya. Sara tampak baik-baik saja setelah mengobrol dengannya di pendopo. Lalu, entah mengapa sekarang keadaannya berubah seratus delapan puluh derajat berubah? Gyana menjadi ngeri melihat Sara yang seperti orang kesurupan.

“Sara, kamu kenapa? Demam?” Gyana meraba kening Sara yang menghangat. Kemudian, ia mengambil segelas air putih yang dengan sigap disiapkan Jiro untuk Sara. “Ayo, Ra. Minum dulu. Tenangkan diri kamu dan katakan apa yang terjadi?”

Sara mengempaskan gelas itu hingga jatuh. Bibirnya terus mengatakan satu nama. “Fab. Fab-ku… Fab-ku!”

“Fab?” Gyana mengernyit. Lantas, ia mengambil ponsel untuk menghubungi Fab, namun tidak diangkat. Gyana semakin bingung dengan keadaan Sara. Ia kemudian menghubungi Bian dan langsung menanyakan apa yang terjadi pada Fab sehingga Sara menjadi sangat ketakutan seperti sekarang.

“Fab tadi bilang mau keluar sebentar. Ada yang mau dicari katanya. Memangnya ada apa?” tanya Bian tanpa curiga.

“Apa Fab udah balik ke hotel?”

Bian terdengar bergumam. “Sebentar, aku cek ke ruangannya.”

Selama menunggu jawaban Bian, Gyana juga ikut cemas melihat kondisi Sara seperti sekarang membuatnya berpikir macam-macam.

“Belum balik. Mungkin masih di jalan.”

Gyana meremas rambut di dahi. Apa yang terjadi sama Sara sebenarnya?

***

Lihat selengkapnya