Rumah Kita

Vivie Hardika
Chapter #14

Kenangan

Langkah Bian menuruni anak tangga begitu pelan. Ia masih belum yakin dengan penglihatannya. Seseorang sedang duduk di ruang televisi sambil menonton video pernikahan. Bian hafal tayangan itu. Sebuah video yang setahun lalu Bian rekam di dalam kameranya.

Pernikahan Fab dan Sara.

Bian menghela napas berat. Ia berjalan perlahan mendekati jiwa yang kesepian itu. Jiwa yang menatap orang lain dengan pandangan basah. Bian duduk di sebelahnya. Hatinya ikut meradang saat melihat paras Sara pucat menyaksikan tayangan ketika Fab mengucapkan ijab kabul. Emosinya ikut meluap-luap.

Bian merasakan kedua matanya mulai memanas. 

“Ra,” panggilnya pelan. “Sudahi sedih ini, Ra. Kasihan sama janin kamu. Dia butuh ibu yang kuat untuk terus tumbuh.”

Sara memejamkan mata lama. Ia sangat merindukan Fab. Sangat rindu hingga ia tidak tahu bagaimana cara meluruhkan rindu itu kecuali menonton wajah Fab di layar televise.

“Ra, aku tahu kamu yang paling tersakiti atas kepergian Fab, tapi kumohon. Demi bayi kamu. Jadilah kuat dan tegar.”

Sara tersentak begitu mendengar kalimat Bian barusan. Ia seperti tertampar.

“Kasih tahu aku caranya, Bi. Kasih tahu aku caranya tegar,” ujarnya lirih.

“Hiduplah seperti mana biasanya. Ikhlasin Fab.”

Sara terisak. “Aku nggak bisa. Nggak sanggup. Dan nggak akan pernah sanggup.”

Bian menelan ludah. Getir. “Jangan pernah bilang nggak bisa sebelum mencobanya, Ra.”

Sara mengerling, menghardik Bian. “Apa kamu bisa? Melanjutkan hidupmu tanpa Fab?”

Bian tersekat. Tak dapat menjawab, apalagi menyangkal. Karena sejujurnya ia pun belum ingin sadar bahwa Fab pergi ke alam lain tanpa dirinya.

“Kamu bisa tidur nyenyak begitu tahu Fab pergi tanpamu?”

Bian merunduk, terdiam, kemudian mengangguk. “Aku masih mencobanya. Aku sedang mencobanya, Ra.”

Sara tidak bertanya lagi. Ia melanjutkan isakan dan kembali menonton acara paling bersejarah di hidupnya.

Seharusnya ia menonton rekaman video itu bersama Fab lagi. Lalu, mereka akan tertawa malu dan meledek. Seharusnya ia tidak menonton rangkaian acara pernikahannya dengan tangis penuh penderitaan. Tidak seharusnya begitu.

“Kamu harus tetap tegar demi bayimu, Ra,” kata Bian lagi. Pantang menyerah menyalurkan energi positif yang sebenarnya tidak dimilikinya.

Sara menyeringai. Tawanya terdengar miri. “Kasihan bayiku. Kelak ketika dia lahir, dia sudah tidak punya Ayah.” 

Bian menggeleng cepat, diraihnya pundak Sara pelan. “Siapa bilang dia tidak punya Ayah?” 

Bian berusaha tersenyum meski tipis. “Aku ayahnya.”

Bahkan kalimat itu tidak mampu membuat kesedihan Sara mereda.

“Kamu lupa, Ra? Bahkan seandainya takdir tidak merampas Fab dari kehidupan kita, aku akan tetap menjadi ayahnya. Bayimu akan punya dua ayah dan akan tetap punya dua ayah.” Bian berusaha tersenyum meskipun hati terdalamnya merutuki kalimatnya barusan. Ia merasa sudah meneteskan air garam di atas luka Sara.

Sara bungkam. Ia seperti terlempar ke masa lalu. Saat Fab menyebut dirinya sebagai calon ayah dari bayi yang dikandung Gyana.

“Nggak akan ada anak seberuntung anak-anak kita. Kelak, mereka akan punya dua ayah dan dua ibu sekaligus. Dan, aku akan menjadi ayah yang paling memanjakan anak-anak kita. Aku akan mengajarkan mereka bagaimana mencari pasangan hidup yang tepat.” Bahkan tawa Fab masih tergambar jelas dalam bayangan Sara.

Sara tersenyum tetapi tangisnya belum hilang. “Kamu memang tahu cara menghibur orang dengan benar, Bian.”

Bian menggeleng cepat. “Siapa yang menghiburmu? Aku sedang membicarakan hal yang benar, Ra. Hidupmu dan hidup kita harus tetap berjalan. Kamu harus yakin bahwa Fab tidak benar-benar pergi. Ia masih ada di dalam hati kita.”

Sara terdiam lama.

Bian juga berhenti berbicara. Keduanya sekarang sibuk menikmati video pernikahan. Di dalam video tersebut Fab tengah tersenyum. Wajahnya berseri-seri tetapi tubuhnya terlihat gugup. Bahkan melambaikan tangan pun harus Bian yang menginstruksikan. Fab terlihat sangat pemalu. Juru kamera tak hentinya menggoda.

“Rileks, Fab.” Suara Bian terdengar bersamaan dengan gambar yang goyang.

Bian ingat, waktu itu ia sedang menepuk-nepuk pundak Fab agar tidak gugup. Sehingga kameranya ikut bergerak. Kemudian gambar bergulir ke acara paling dinantikan. Ijab kabul.

“Saya terima nikah dan kawinnya Sara Varidia binti Lesmana dengan mas kawin tersebut tunai.”

Sara menitikkan air mata di atas senyum. Ia rindu suara itu. Sangat rindu dengan rupa si aktor yang ditatapnya sekarang. Yang terlihat sedang mengelap peluh di dahi seusai mengatakan janji suci atas namanya. Ingin rasanya Sara berlari menjebol layar kaca dan memeluk Fab yang ada di sana. Untuk ketidakmungkinan itu, Sara tergugu, untuk ke sekian kalinya.

Bian mengerling. Ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu. Dilihatnya Sara terbatuk-batuk karena menahan tangis. Bian tidak tega.

“Ra, kalau kamu rindu pada Fab ....” Bian masih saja ragu. Kata-katanya berhenti di tengah jalan. Sara seperti tidak mendengarnya. “Kamu bisa memelukku. Hilangkan kerinduanmu.”

Lihat selengkapnya