Ragu-ragu Sara melangkahkan kaki mendekati Gyana yang sedang duduk di tepi kolam dan mencelupkan kedua kaki sambil melamun. Dengan perutnya yang membesar, Sara susah payah mengambil tempat di sebelah Gyana.
“Gyana.”
Lamunan Gyana tergugah oleh sapaan Sara yang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Gyana sedikit bingung, sejak kapan Sara ada bersamanya?
“Kamu nggak apa-apa?” Sara memberanikan diri bertanya.
Dua hari terakhir, Gyana terlihat murung. Ia lebih banyak menyendiri dan mengurung diri di dalam kamar. Sebagai salah seorang yang sering bersama Gyana, Sara tentu heran dengan sikap Gyana. Bahkan Bian juga tidak pulang kemarin. Apa sebenarnya yang terjadi antara Bian dan Gyana? Pertanyaan semacam itu terus saja mengganggu Sara hingga hari ini ia punya kesempatan untuk menanyakannya.
Gyana menarik kedua ujung bibirnya berat, lantas menggeleng.
Sara menggenggam tangannya ragu.
“Maafkan aku, Gy. Mungkin ini terdengar nggak sopan, tapi tiga hari lalu aku mendengar pertengkaran kalian.” Sara menelan ludah segan.
Gyana terbelalak. Selain dirinya, siapa lagi yang tahu kalau dirinya dan Bian bertengkar kemarin?
“Aku juga lihat Bian masuk ke kamar bayi kita dengan kemarahan.”
Tiba-tiba Gyana lebih khawatir dengan pembahasan yang menyulut pertengkaran antara dirinya dan Bian.
“Ra, apa kamu mendengar semuanya?” Masih tergambar jelas kekhawatiran di wajah Gyana.
Sara menggeleng, “Aku cuma denger ada yang dibanting. Sebenarnya apa yang terjadi, Gyana? Kenapa kalian sampai bertengkar seperti itu? Sampai-sampai Bian nggak pulang ke rumah kemarin.”
Gyana sedikit lega.
“Hanya masalah sepele,” dusta Gyana. Masalah sebenarnya tidak sesepele yang ia katakan, karena tidak mungkin Bian sampai menghindarinya untuk masalah yang sepele seperti itu. Namun, ia kembali punya kekuatan untuk menyampaikan apa yang tidak bisa dikabulkan Bian. “Ra, aku boleh minta sesuatu darimu?”
Sara kontan berjengit dan tertawa kecil. Sebenarnya Sara hanya memancing tawa, tidak benar-benar merasakan sesuatu yang aneh dengan ucapan Gyana barusan. Barangkali dengan begitu Gyana bisa berterus terang padanya mengenai permasalahan yang sedang dihadapi. “Minta. Aku ngerasa nggak enak, ya?”
“Aku—”
Perkataan Gyana terhenti oleh kedatangan Mami. Gyana mendadak gugup. Takut.
Mami menyela dengan pertanyaan mengenai Bian. Gyana menjawab dengan alasan Bian mempunyai pekerjaan di luar kota.
“Oh, begitu?” Wajah Mami tampak ragu, namun akhirnya ia mengangguk pertanda percaya. Kemudian ia beralih, berniat meninggalkan dua menantunya tersebut.
“Tunggu, Mi!” Gyana mengangkat kedua kaki dari dalam air dan mendekati Mami yang hampir pergi. “Aku mau ngomong sesuatu ke Mami dan juga Sara.”
Sara yang sudah menunggu bertambah heran, begitu pun Mami. Banyak kerutan di dahinya. Gyana berbicara seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting bahkan sangat penting hingga air mukanya terlihat tegang.
“Ini tentang Bian.” Gyana berpikir kalau tidak ada salahnya membujuk Mami. Jika Mami setuju barangkali Bian akan menurut dengan ibunya.
Sara dan Mami masih menanti. Sara bahkan sampai beranjak dari tempat duduk dan mendatangi Gyana dan Mami dengan rasa penasaran. Gyana bilang sesuatu itu mengenai Bian. Mungkin memang sangat penting mengingat beberapa hari lalu Sara mendengar pertengkaran mereka. Hal yang sangat jarang terjadi.
“Ada apa dengan Bian?”
Gyana memejamkan mata lama, ingin bertambah mantap. “Aku ingin Bian menikahi Sara, Mi.”
Mami dan juga Sara kontan terkejut. Untuk beberapa saat mereka berdua menjadi kaku di tempatnya. Tidak ada angin dan tidak ada hujan tiba-tiba Gyana meminta sesuatu hal yang dapat menyakiti banyak pihak. Menikahi Sara? Apa mungkin Gyana sedang mabuk?
“Tolong bujuk Bian untuk turun ranjang dengan Sara, Mi. Kumohon!” lanjut Gyana penuh harapan.
Sara menggeleng cepat. Ia berharap salah dengar. “Maksud kamu apa, Ra?”
Gyana mengerling pada Sara. “Aku ingin Bian mengisi kekosongan Fab, Ra. Aku juga ingin Bian punya anak, jadi aku mohon menikahlah dengan Bian.”
Mami tidak menjawab apa-apa. Tatapannya mengabur pada Gyana yang tampak bersikukuh menginginkan persetujuan Sara.
Sara menggeleng mantap. Bahkan, Sara tertawa kecil, merasa geli dengan permintaan Gyana yang sangat mengejutkan batin. “Nggak. Gimana bisa kamu gomong kayak gini, Gy? Bian itu suami kamu.”