Rumah Kita

Vivie Hardika
Chapter #17

Ruang

Pagi-pagi sekali Gyana sudah berdiri di depan kamar Sara. Setelah menyelesaikan masalahnya dengan Bian kemarin malam, Gyana belum juga berani meminta maaf pada Sara. Saudari iparnya pasti merasa tersakiti dengan permintaannya sekarang. Kentara dengan ketidakhadirannya di meja makan kemarin malam. Mami bilang Sara ingin makan di dalam kamarnya sendiri dan tidak ingin diganggu oleh Gyana.

Ada yang mencelus di dalam dada Gyana saat mengingat bahwa Mami juga mengatakan kalau Sara sangat marah padanya. Itulah kenapa kemarin malam Gyana menahan diri.

“Sara.” Gyana mengetuk pintu kamar. Tidak ada sahutan. Gyana kembali mengetuk, tetap tidak ada sahutan dari dalam. Gyana mengetuk lagi dan lagi tapi tetap tidak ada balasan. Gyana memutar kenop pintu kamar Sara tidak terkunci. Setelah ditilik, Sara tidak ada di dalam kamarnya.

“Kamu cari siapa? Sara? Sara izin pulang ke rumah mamanya sampai bayinya lahir.” 

Tiba-tiba Mami muncul mengagetkan, lalu melengos begitu saja. Meninggalkan Gyana dengan penyesalan yang semakin memuncak. Di saat Gyana ingin memperbaiki kesalahannya, ia sudah terlambat. Sara sudah pergi.

Berhari-hari Gyana tenggelam dalam penyesalan yang tak bisa ia tuntaskan karena ketiadaan Sara. Belum lagi mengenai omongannya tempo hari, Sara pasti sangat membencinya sekarang. Gyana menjadi gamang. Ingin sekali menemui Sara di rumah orang tuanya, namun tak berani. Ia juga sudah meminta pendapat Bian perihal itu, namun Bian membuatnya semakin bingung.

“Kamu kok tanya aku, sih? Memangnya aku yang bikin Sara pulang?” Ucapan itu diiringi tawa jahil Bian yang membuat Gyana ingin memukul kepala Bian sampai benjol.

Tepat hari ketujuh setelah peristiwa itu, Gyana memberanikan diri berkunjung ke rumah orang tua Sara.

“Sara ada di kamar, Gy. Masuk aja,” kata mamanya Sara saat Gyana tiba.

Sikap mamanya Sara tampak seperti biasa. Tidak ada kebencian di raut wajahnya. Masih sama ramahnya ketika Gyana terakhir kali berkunjung bersama Sara beberapa bulan yang lalu sebelum Fab mengalami kecelakaan.

Ketika langkah kakinya menaiki undakan demi undakan, Gyana semakin merasa canggung. Dalam bayangannya, Sara akan melempar dirinya dengan bantal saat melihat kedatangannya di ambang pintu. Atau paling tidak menutup rapat pintu kamarnya dan menyuruhnya pulang dengan emosional. Gyana menggeleng cepat. Dari semua bayangan yang ada di kepalanya tadi, Gyana lebih suka Sara memakinya. Paling tidak, ia pantas mendapatkannya.

Ketika sampai di kamar Sara, pintunya tidak dikunci, bahkan setengah terbuka. Gyana mengintip dan menemukan Sara duduk di sofa sembari membaca buku. Alunan musik kesukaan Fab juga memenuhi ruangan. Gyana berasumsi, Sara tengah merindukan Fab hingga melampiaskannya dengan mendengarkan musik-musik kesukaan suaminya itu.

“Ra.” Gyana mengetuk pintu.

Sara mendongak. Wajahnya, yang semula mencair oleh alunan-alunan not dan juga buku di hadapannya, berubah dalam hitungan detik.

“Boleh aku masuk, Ra?” tanya Gyana sebelum melangkah ke dalam.

Sara diam. Kedua tangannya menurunkan buku, lalu mematikan musik yang mengalun dari ponsel peninggalan Fab.

“Kalau kamu datang untuk memintaku menikahi Bian, sebaiknya kamu jangan pernah datang di depanku Gy.” Sara membuang muka. Masih tampak jelas kekesalannya.

Gyana menarik napas. Ia memang pantas menerima kalimat ketus tersebut. Gyana beruntung karena tidak ada bantal yang dilemparkan ke wajahnya.

“Aku datang bukan untuk itu. Aku mau minta maaf.”

Sara mengerling, meneliti kesungguhan permohonan Gyana tadi. Sara tidak mendapatkan apa-apa dalam jarak yang luGyanan jauh. Maka ia berdiri dan mendekat. Perut yang membesar membuatnya tampak sedikit lucu ketika berjalan.

“Maafin aku, Ra. Aku menyesal, banget.” Gyana tertunduk.

“Gy—”

Gyana tetap menunduk, “Aku sadar udah bikin kamu sakit hati. Nggak seharusnya aku semena-mena sama kamu. Aku juga ngerasa bersalah banget sama Fab. Aku menyesal, Ra. Maafin aku.”

Sara menemukan kesungguhan dari nada bicara Gyana. Ia mengangkat tangan, mengusap bahu Gyana, dan berkata, “Masuklah, Gy.”

Gyana mendongak. “Sebelum kamu maafin, aku nggak mau masuk, Ra.” 

Sara menarik garis bibir, lantas merunduk seraya mengelus perut. “Nggak usah melodrama begini deh. Mari kita lupakan semuanya. Demi bayi kita.”

***

Gyana berhasil meminta maaf pada Sara, namun ia gagal meminta Sara kembali ke rumah. Sara bersikeras ingin tinggal bersama orang tuanya sampai bayinya lahir. Sara berkata ingin belajar banyak tentang persiapan menjadi ibu dari mamanya, padahal Gyana juga sudah mengatakan kalau Mami juga bisa memberikan hal yang sama kepada Sara.

Sara tetap enggan pulang. Di sisi lain, Sara tidak ingin menemukan banyak kenangan akan Fab di rumah itu. Sara ingin terbiasa dengan kehangatan keluarganya sehingga ia bisa tetap bahagia meski tanpa Fab di sisinya.

Gyana tidak punya pilihan lagi. Ia terpaksa membiarkan Sara menjalani hari-harinya di rumah orang tuanya. Sesekali ia dan Bian pun berkunjung untuk memberikan sesuatu dari rumah atau sengaja melihat keadaan Sara. Semuanya tampak normal, seperti sedia kala meski tempatnya sedikit berbeda.

Bian masih sering mengirimkan bunga untuk Sara. Untuk membangun rasa damai dan tenteram dengan wangi-wangian alami dari bunga. Tidak untuk Sara, Bian juga sering mengirimkan bunga yang sama kepada Gyana. Setelah kejadian menggenggam belati di bawah pancuran bulan lalu, Gyana mengungkapkan apa yang membuatnya khilaf menyuruh Bian menikah lagi dan ekspresi suaminya hanya tertawa terbahak-bahak. Bian sampai terbatuk-batuk karena terlalu keras tertawa.

Lihat selengkapnya