Tersebutlah seorang ibu muda beranak dua bernama Wak Isah. 'Wak' adalah panggilan yang umum disematkan pada anak tertua, itu pun jika ia telah berkeluarga. Begitupun Wak Isah, meskipun menikah di usia muda, ia tak keberatan ketika gelar itu menjadi panggilannya.
Aisyah Kemala atau Wak Isah memiliki sepasang anak dari pernikahannya dengan seorang pria baik lagi berwibawa bernama Zulfikar Sani atau Bang Zul. Bang Zul terbilang beruntung karena berhasil mempersunting kembang desa anak penghulu kampung. Banyak yang tak tahu, Wak Isah lah yang beruntung mendapatkan suami yang sabar. Jika sudah tau sifat kekanak-kanakan Wak Isah, makan hati berulam jantung saban hari yang menjadi suaminya. Akan tetapi, tentu saja hidup ada pasang surutnya. Selama ini Wak Isah sangat cuek dengan perangainya. Namun, kini ia harus berubah, atau keadaan yang akan merubahnya.
***
Matahari sudah tak lagi hangat. Sinar kuning itu kini mulai garang. Udara yang sejuk bertukar dengan hawa panas, tanda siang sebentar lagi menjelang. Namun, rumah panggung Wak Isah masih tampak sepi. Tak seperti pagi biasa yang heboh dengan suara dendang yang memicu amarah para tetangga.
"Woy! Bisinglah! Gigi aku bedenyut dengo suare kau tu!" Si Nuri–tetangga sebelah rumah Wak Isah berteriak dari halaman rumahnya.
Wak Isah muncul dari jendela samping.
"Eh, suke hati aku lah. Rumah-rumah aku, ape pulak kau yang bising?" lawannya sambil bertegak pinggang.
"Memekak, tau tak!" Nuri geram, sambil memegang pipinya yang bengkak.
Tapi Wak Isah akan tetap acuh, hingga biasanya akan diakhiri dengan pertengkaran. Akan tetapi, sudah dua pagi suasana sekitar rumah Wak Isah begitu tenang. Tak terdengar musik dendang melayu atau dangdut modern yang tiap pagi melantun keras dari rumah panggung itu. Wanita berusia kepala tiga itu tak kelihatan sejak pagi. Ia memilih meringkuk di balik selimut, enggan menyapa mentari pagi. Dari pintu depan hanya tampak Farida–anak Wak Isah yang telah selesai mengemas rumah. Jam segini biasanya Ayah Farida sudah berada di sekolah, tempat ia bekerja sebagai guru. Farida dan Usop–adiknya juga telah pergi sekolah. Farida dan Usop memiliki jarak umur yang cukup jauh, Farida duduk di kelas tiga sekolah menengah atas. Sedangkan Usop masih kelas awal sekolah dasar.
Para tetangga mulai sibuk bisik-bisik seputar kondisi Wak Isah. Karena suatu hal yang tak biasa jika wanita yang terkenal super heboh di kampung itu mendadak mengurung diri.
"Kemana Wak Isah? Tak nampak pun batang hidungnya. Heran pulak aku. Apa sakit dia?" Kak Eda, pemiliki warung sayur memulai pergibahan dengan ibu-ibu yang belanja di warungnya.
"Iye pulak, tak biase kut. Sakit ke?" tanya seorang ibu berbaju kurung ungu.
"Ho oh, biase dah asik bedendang tiap pagi. Bunyi musik keras-keras, memekak je tiap pagi. Due hari ni baru senyap, aman siket dunie." Nuri menimpali.
Terang saja ia yang paling bahagia, energinya pun tak perlu keluar sia-sia untuk bertengkar tetanggannya itu.