"Ramadhan tiba ... Ramadhan tiba ... Ramadhan tiba ... Marhaban Yaa Ramadhan ...."
Terdengar alunan musik dari rumah panggung Wak Isah. Bulan istimewa yang telah dinanti umat Islam, telah tiba. Bulan Ramadhan yang mulia. Di bulan ini, setiap amalan dilipat gandakan pahalanya. Sehingga musik yang mengalun hari ini pun sesuai tema, Ramadhan. Sementara dendang melayu dan dangdut disimpan dulu. Para tetangga diam-diam bersyukur, setidaknya bulan puasa ini telinga mereka aman karena disuguhkan dendang religi yang syahdu.
Menjelang sore, Wak Isah sudah berkutat di dapur mempersiapkan masakan yang akan dibaginya dengan tetangga. Hari ini badannya sehat bugar, sebab belum ada lagi penyebab busuk hatinya kambuh. Maklum, sekarang masih bulan tua. Ikan mas yang akan menjadi menu andalannya akan segera ia masukkan ke dalam kuali yang sebelumnya sudah terisi bumbu dan santan. Aroma bumbu yang wangi mulai tercium dari dapur.
Menjelang selesai, ia baru menyadari tak melihat Farida sejak tadi. Biasanya anak itu selalu ikut membantunya memasak, tapi sampai sekarang belum kelihatan batang hidungnya.
"Da ... ooy ... Farida!" Suara Wak Isah memanggil anak sulungnya itu.
"Ape, Mak?" Dengan malas Farida menghampiri. Ia melihat ibunya sedang memindahkan menu yang ia masak ke dalam mangkuk-mangkuk kecil.
"Ish, baru hari petame puase dah lemas sangat. Ha, pegi antar gulai ne dulu ke rumah jiran sebelah," suruhnya.
Wak Isah menyerahkan mangkuk kaca hadiah deterjen beralas piring plastik kepada Farida. Dengan enggan gadis berambut panjang itu berbalik ke arah kamarnya.
"Hay, nak kemane pulak tu?"
"Ish Mak ni, cari tudung la." Farida melengos ke kamar dan kembali dengan memakai kerudung instan berwarna navy miliknya.
"Amboy, lawa sangat anak mak, nah pegi cepat anto." Wak Isah menyerahkan semangkuk gulai ikan berwarna kuning ke tangan Farida.
Farida yang masih terlihat lemas segera melaksanakan apa yang diperintahkan ibunya itu. Tak berapa lama, Farida pun kembali dengan membawa rantang plastik berwarna jingga.
"Amboi, cepatnye. Meh sini." Wak Isah segera mengambil rantang balasan dari jirannya.
Ketika dibuka, senyum dari wajahnya langsung memudar.
"Hay, mak. Ini je?" Ia meletakkan rantang berisi kolak pisang itu ke atas meja.
"Itu je mungkin yang ade." Farida menjawab lemas.
"Kat rumah siape kau antar ni, Da?" Wak Isah bertanya kepada putrinya yang kini duduk bertopang dagu di meja makan.
"Rumah mak si Bedah."
"Astagfirullah, patutla. Mak cakap ke rumah Wak Haji. Apesal kau antar ke rumah sebelah?" Wak Isah menggaruk dengan gusar kepalanya yang tidak gatal.
"Kan Mak cakap kat jiran sebelah, betulah tu, jiran kite mak si Bedah. Lagipun Mak Bedah hidupnye memang susah? Macam ayah cakap, memberi tu yang utame ke jiran yang susah? Wak Haji kan kaye. Tak payah lah Mak sedekah kat die."
"Iyelah, sebab die kaye. Kan rantang balas die mesti lebih sedap dari kite. Mane la tau, die balas 'ngan rendang ayam." Wak Isah sudah membayangkan potongan rendang ayam yang lezat untuk berbuka puasa.