Pada pukul setengah sembilan malam, larik terakhir matahari musim panas akhirnya menghilang di garis cakrawala. Tersisa bentangan cahaya keemasan diapit langit yang birunya makin gelap dan laut yang menghitam.
Pantai nyaris kosong. Sudah sejak setengah jam lalu orang-orang mengemas tenda dan payung berwarna-warni mereka, pulang atau berpindah ke kafe-kafe yang memutar musik berdentam dan menawarkan minuman berkilauan.
Setiap langkah bersepatu bot Justin Dumont melesak dalam pasir selagi dia menaiki bukit alang-alang kawasan pantai Zeedijk-Het Zoute. Begitu pandangannya melewati sisi paling atas gunungan pasir putih—bibir pantai terentang di balik punggungnya—muncul pemandangan sederet bungalo.
Beberapa rumah mulai menyalakan penerangan. Seorang pria berbicara sambil tertawa kepada entah-siapa sambil memegang sebotol bir dalam salah satu rumah terdekat. Di rumah lain, seorang perempuan dengan handuk membungkus kepala sedang menutup tirai. Sisanya gelap dan tak menunjukkan tanda-tanda aktivitas.
Justin Dumont sampai di puncak bukit pasir dan berhenti sejenak untuk mengamati keadaan di sekeliling. Tak lama, dia mulai melangkah turun mendekati setapak berbatu merah. Maju lagi sekian langkah, dia mencapai tembok rendah dari batu alam yang mengapit undakan menuju deretan rumah. Justin menaiki keempat belas anak tangga tersebut sambil menyusurkan tangan pada permukaan kasar bebatuan.
Bangunan di sebelah kanan terdiri atas lima rumah dengan teras berpagar kaca. Dua di lantai dasar. Dua di atasnya. Rumah terakhir merupakan pemenang jackpot, menguasai satu lantai paling luas dengan area rooftop.
Namun, bukan bangunan itu yang ia tuju.
Setelah kakinya melewati anak tangga terakhir, Justin Dumont membelok ke kiri, mendekati bangunan berwarna cokelat bergaya Bavaria. Kekasihnya, Lena Ranst, tinggal di lantai dua, di flat tanpa teras kecuali dua pintu kaca terhalang pagar separuh badan. Lena menggantung sebuah pot persegi panjang pada sisi luar pagar aksesoris itu. Di dalam, dia juga punya tanaman lain. Banyak tanaman lain. Rumah itu seperti hutan tropis.
Justin mendongak ke arah mawar-mawar kekasihnya. Lena sangat membanggakan tanaman peliharaannya. Perempuan itu selalu berkata bahwa saat dia bangun di pagi hari, pintu itu, pagar itu, dan sekotak mawar kuning di balik situ, membuatnya merasa seperti Juliet, karakter tragedi cinta ternama.
Pintu kaca itu sendiri sedang tertutup rapat saat Justin tiba. Tanpa satu pun lampu menyala di dalam, hanya kegelapan yang tampak di balik tirai brokat putih yang Lena pasang untuk menghalangi penglihatan dari luar.
Bangunan tempat tinggal Lena Ranst adalah bungalo terakhir di deretan rumah pantai kawasan Zeedijk-Het Zoute. Selain bukit pasir di depan, ada semacam gundukan tanah di samping sana, kelebihan lahan yang tidak tahu harus dipengapakan oleh pengembang. Sebatang pohon birch berdiri di situ. Cukup dekat dengan jendela dapur Lena. Lebih dekat lagi dengan kamar pria tetangganya. Ke situlah langkah Justin mengarah, bukan ke pintu masuk gedung dengan panel berkode.
Justin mencengkeram sejumput ilalang terjauh dan menarik tubuh ke atas. Satu hopla! kemudian, dia sudah tiga kepala saja di bawah pintu teras tetangga Lena Ranst.
Justin memastikan ulang situasi di rumah-rumah di sekitar. Tak tampak seorang pun, baik di teras-teras bangunan kekasihnya, maupun di gedung sebelah yang balkon-balkonnya menggunakan dinding kaca. Andai ada yang melihat pun, bayangan pohon birch sempurna menyembunyikan keberadaannya.