Pulang dari Ujian Profesi Advokat, Hilda Widyatama menyalakan laptop dan mengakses permainan daring tanpa mengganti pakaian. Begitu dia masuk, kotak percakapan terbuka secara otomatis di kiri bawah layar. Ada empat pemain lain sudah sedang online di sana.
Hilda melepas syal yang dia kenakan. Sutra membelai kulitnya saat simpul kain hitam bercorak mawar putih itu terurai. Perempuan itu meregangkan punggung, menekuk leher tiga kali, kemudian mengetikkan salam.
“Halo semuanya!”
“BlazeGirl! Ke mana saja kau baru kelihatan?” Pemain yang menggunakan nama UsernameTaken membalas.
“He he, maaf, ada yang harus kuurus akhir-akhir ini.”
“Hai, BlazeGirl,” sapa JD36. Pemain yang satu itu, menurut pengakuannya sendiri, memang berusia 36 tahun. Soal dia pria atau wanita, belum jelas.
Di dunia maya, terutama pada pelantar yang penggunanya tidak perlu menampilkan wajah, semua orang bisa menggunakan nama apa pun dan mengaku sebagai siapa pun. J pada JD bisa merupakan inisial dari nama apa saja. Jack. Jessica. Jennifer. James. Jeremy.
Hilda mencermati nama-nama lain yang tampak dalam layar. RoachBuster mestilah seorang pembenci kecoak. Lagi-lagi, dia bisa jadi laki-laki atau perempuan. SneakyPloy juga begitu. Entah Taktik Licik apa yang sering dia pakai, dan di mana dia menerapkannya, tak bisa ditebak. Sedangkan Username Taken, Hilda menduga si pengguna pasti adalah penggemar humor gelap dan sarkasme.
Sebenarnya, bahkan nama yang dia sendiri pakai, BlazeGirl, bisa jadi bukan cewek yang senang mengenakan blazer, melainkan pria berperut buncit dan bersinglet putih yang sedang mengalami krisis paruh baya.
Bagaimanapun, belajar dari pengalaman, Hilda menggunakan kesempatan tersebut untuk sekaligus menyapa semua orang. Kalau tidak demikian, obrolan para pemain akan tiba-tiba terpusat kepadanya. Atau, lebih tepatnya, kepada JD36.
“Hai, JD. Hai, SneakyPloy. Hai, RoachBuster.”
“Ha ha, JD, apa kau sedang patah hati di situ?” RoachBuster mengomentari balasan Hilda.
Nah, kan. Hilda menggeleng di depan layar. Dia meraih sekaleng minuman dingin yang baru dia beli dari warung di dekat rumah. Hilda minum seteguk dan memutuskan akan melihat dulu bagaimana interaksi itu bergulir.
“Kenapa aku harus patah hati?”
“Karena BlazeGirl tidak secara khusus membalas hanya kepadamu tadi.”
“Biasa saja tuh.”
“Halah! Bujang lapuk sepertimu. Apa lagi yang kau harap dengan bergenit-genit pada perempuan?”
“Aku tidak sedang bergenit-genit dengan BlazeGirl!”
“Kalau kau mau, tidak apa-apa, lo. Kami mengerti, kok. Waktumu, kan, sudah makin terbatas. Kasihan nanti tangan kananmu jadi berurat. Apa mungkin sudah?”