Dari tempatnya berdiri di Pintu Kedatangan, tidak sulit bagi Hilda menemukan sosok kaukasoid Justin di antara penumpang berdarah Asia Tenggara. Kendati sosok bule sudah biasa terlihat di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, hari itu, Justin Dumont adalah orang kulit putih satu-satunya di area kedatangan internasional.
Hilda Widyatama menarik napas. Tanpa sadar, dia juga tidak mengembuskannya sampai beberapa saat. Pemain dengan nama pengguna JD36 itu ternyata tinggi dan tegap, serta memiliki dada yang bidang dan kekar. Kaus abu-abu ketat yang pria itu pakai menonjolkan semua ototnya. Matanya biru, sebiru koper berwarna permen karet yang dia geret secara vertikal.
Rambut cepak Justin tidak istimewa, tetapi berpotongan sesuai. Tinggi badannya saja yang agak tidak wajar. Hilda yakin, bahkan di kalangan bangsa Eropa pun, pria itu pasti berukuran di atas rata-rata. Dengan postur semacam itu, Justin mirip pemain rugbi dalam film-film Amerika.
Hilda berpaling mengamati kaca-kaca kebiruan yang memenuhi dinding terminal hingga ke perbatasan langit-langit ruangan. Dari situ, dia melirik dua lampu warm white di dinding informasi jadwal kedatangan/keberangkatan. Ditambah lantai berkilau di bawahnya dan layar raksasa menampilkan video keindahan alam Indonesia di belakangnya, Hilda berharap, kombinasi semua cahaya tersebut sedang menciptakan efek filmis yang cantik pada dirinya.
Senyum terkembang di wajah Justin saat langkah membawanya makin dekat ke tempat Hilda berada.
“Hey, you,” sapa perempuan itu saat mereka akhirnya berhadapan.
Tak disangka, bukannya membalas, Justin langsung meraih pinggang Hilda dan memberi ciuman!
Di belakang Justin, penumpang terus berdatangan. Pengunjung bandara berseliweran di koridor kanan. Beberapa orang menjaga kesopanan dan berlagak tidak melihat. Kalaupun sempat melirik, mereka lekas membuang muka. Namun, ada juga yang terang-terangan memperhatikan. Sementara itu, sesuatu yang basah berbuat sekehendak hati di bibir Hilda Widyatama. Dia terbelalak menatap kelopak Justin yang berjarak satu sentimeter saja dari matanya sendiri.
Hilda terbayang gadis penjaga konter tempat dia mampir membeli pulsa. Gerai itu hanya beberapa langkah dari sana. Apakah gadis itu sedang menyaksikan kejadian yang sedang berlangsung? Apa yang gadis itu pikirkan? Mungkinkah dia sudah biasa melihat adegan semacam ini di Terminal 3?
Bagaimana dengan bapak-bapak berkemeja batik yang berdiri menunggu bersama istrinya yang berkerudung hijau? Dan bagaimana dengan dua petugas berkemeja biru yang menjaga gerbang keluar? Apakah mereka semua sedang menonton juga?
Ketika Justin akhirnya melepaskan Hilda, dia mengucapkan tiga kata lambat-lambat, “You-are-be-au-ti-ful!”
Hilda Widyatama tersipu. Dia tidak merasa cantik. Seperti separuh penduduk Indonesia, Hilda berkulit cokelat. Bibirnya seksi, menurut seorang kawan. Tetapi Hilda lebih menyukai bibir mungil menggemaskan milik penyanyi-penyanyi Korea atau bibir penuh menggoda andalan perempuan Latina. Lagi pula, sebagai orang timur, dia tidak biasa berlaku begitu bebas di tempat umum.
“Don’t flatter me,” Hilda menolak pujian yang dia anggap berlebihan.
“Why not? You are beautiful!” Justin berkeras. Matanya tak henti menjalari tubuh si gadis. Satu tangannya turut melakukan hal yang sama, mengusap-usap lengan Hilda. Dari atas ke bawah. Dari atas ke bawah. Hilda tersanjung, tetapi merasa risi karena masih menyadari kehadiran semua orang tadi.
“Ayolah, kuantar kau ke hotel yang sudah kupesankan. Semoga kau akan menganggapnya cukup nyaman.”
“Oh, yes! Acara yang paling kutunggu-tunggu!”
Hilda Widyatama tertawa.