Lampu penggunaan sabuk pengaman baru saja padam. Hilda Widyatama jadi bisa melanjutkan eksplorasi atas tayangan hiburan maskapai pilihan. Ada perasaan lega sekaligus rasa bersalah dalam hati gadis itu. Dia berusaha mengusir keduanya.
Selama pesawat tinggal landas, tidak ada yang bisa dia tonton. Hanya siaran CCTV memperlihatkan suasana di sekitar bandara, yang meskipun sempat menarik perhatiannya selama beberapa waktu, sesudah sekian menit memelototi lampu roda pesawat berkedip-kedip, Hilda kehilangan minat.
Namun, selagi dia menekan tombol-tombol remote berkabel untuk menjelajahi televisi kecil di hadapan, Hilda terus-menerus teringat pada pembicaraan malam sebelum keberangkatan.
“Kakak yakin dengan laki-laki ini?” tanya Heru, adiknya.
“Ya ... dia mapan,” jawab Hilda.
“Bukan itu yang kutanyakan.”
Mereka bertatapan di bawah bohlam murahan yang menggantung terlalu dekat ke kepala pengguna meja makan. Kabel gemuk putihnya tertekuk-tekuk, membuat lampu pijar itu tidak menghadap lurus ke bawah, melainkan menyorot miring ke arah jendela. Heru dan Hilda yang mengerjakannya berdua berdasarkan bimbingan sebuah video konten.
“Kurasa.”
Heru menurunkan dagu. Sorot matanya jadi lebih tajam saat menelisik sang kakak. Ekspresi Heru mengingatkan Hilda pada mimiknya sendiri. Wajah mereka memang sangat serupa, kecuali sejumlah perbedaan khas berkat ciri maskulin pada garis-garis rahang dan pundak sang adik.
“Kurasa bukan jawaban yang cukup baik untuk keputusan sebesar ini, Kak.”
“Lalu kau mau aku bilang apa?”
Heru mengedikkan bahu. “Karena Kakak jatuh cinta? Karena dia laki-laki terbaik yang Kakak temukan sampai sekarang? Karena Kakak siap menikah?”
Hilda terdiam dan mengalihkan pandangan.
“Lihat? Kakak bahkan tidak bisa langsung mengonfirmasi salah satu jawaban.”
“Ya ... karena ....”
“Karena sebenarnya Kakak juga belum pasti dengan perasaan sendiri.”
“Aku tidak bilang begitu.”
“Kakak tidak perlu bilang begitu. Ketiadaan jawaban adalah jawaban, Kak. Sama seperti menolak bereaksi sebenarnya sudah merupakan aksi yang pasti.”
Heru seharusnya masuk sekolah hukum juga. Dia bisa menjadi jaksa penuntut yang hebat.
“Bagaimanapun tiket sudah dibeli, Her. VISA sudah jadi. Justin juga sudah menyiapkan semua dokumen yang akan kami perlukan untuk proses di catatan sipil nanti.”
“Itu masih tetap bukan jawaban atas pertanyaanku yang tadi, Kak.”
Mereka bertatapan lagi.
“Aku ... perlu menyingkir, Her. Aku tidak tahan lagi. Sudah bertahun-tahun seperti ini. Aku butuh suasana baru.” Hilda menggeleng, kemudian, “Maaf karena itu berarti aku jadi meninggalkan Heru menghadapi semuanya sendirian.”
Adiknya mengangguk. Sangat paham dengan maksud di balik kata-kata itu.