Brussel adalah celana khaki bertambal. Itu kesan yang Hilda tangkap saat melihat dataran Belgia dari pesawat yang hendak mendarat.
Petak-petak hijau berseling petak-petak cokelat. Bentuk-bentuknya mengingatkan Hilda pada pelajaran Geometri di sekolah. Jajar genjang. Trapesium. Segitiga sembarang. Tapal kuda. Persegi panjang. Belah ketupat.
Petak hijau mudah ditebak. Itu mestilah area perkebunan atau semacamnya. Namun petak-petak cokelat? Apa gunanya lahan telanjang semacam itu?
Antrean di lorong pesawat bergerak maju. Hilda berpaling dari pemandangan di jendela saat penumpang di sampingnya keluar dari tempat duduk dan membuka lemari kabin untuk mengambil barang bawaan.
Hilda sendiri sudah siap dengan ransel di punggung meskipun belum berdiri. Ranselnya hanya berisi ponsel, dompet, paspor, roll on, serta pakaian ganti. Selama penerbangan, ransel itu dia selipkan dengan mudah ke bawah kursi penumpang di depan.
Sekarang, ransel itu lebih pipih lagi. Sebelum pesawat melakukan persiapan landing, Hilda sudah ke kamar mandi untuk mengenakan long john di balik celana jin. Jaket juga sudah dia keluarkan, siap dipakai kapan saja. Dalam kantong jaket gembung itu, terselip pembungkus kepala dan sepasang sarung tangan. Kata Justin, musim dingin tahun itu lebih hangat daripada biasanya. Namun Hilda tak mau mengambil risiko. Sebagai manusia tropis, musim dingin sehangat apa pun pasti akan tetap dingin baginya.
Tak lama, antrean mulai longgar. Hilda berdiri dan keluar dari bangku untuk berjalan menuju pintu.
“Thank you for flying with us,” kata awak kabin berwajah eksotis.
Hilda membalas ucapan terima kasih si pramugari, kemudian melangkah keluar ke garbarata. Dengan dua tangan menggenggam tali ransel di kiri dan kanan pundak, dia melewati lorong dari kaca serta koridor dengan pilar-pilar putih berhias lis metal. Pada setiap langkah yang dia buat, Hilda menikmati tarikan pada otot pinggang dan pahanya. Hilda baru sekali itu menjalani penerbangan yang begitu panjang.
Di pesawat, tidurnya tak nyenyak. Tidak peduli tubuhnya pegal dan penat, otak Hilda melaju dengan kecepatan pembalap. Berjuta ingatan, impian, pemikiran, dan kekhawatiran, melesat liar, saling bertabrakan dan bergesekan dalam benaknya.
***
Hilda bisa langsung melihat Justin begitu dia membelok ke lobi area kedatangan. Justin maju menyongsongnya, sambil membuat kode dengan tangan, menunjuk sisi bawah palang penghalang.
“Hurry! I need to kiss you!” kata Justin Dumont.
Hilda Widyatama tertawa. Dia berhenti berjalan, membungkuk dan menyusupkan badan ke bawah palang terdekat. Jaket gembung musim dingin sedikit membuatnya sulit bergerak. Namun, paling tidak, dia tidak perlu lagi mengikuti alur penghalang sampai ke ujung sana.
Seperti deja vu, peristiwa enam bulan lalu di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta berulang. Bedanya, kali ini Hilda membalas ciuman calon suaminya.
“Maaf, lama. Antrean imigrasinya mengerikan.”
Justin Dumont mengecup pipinya. “Dua jam bukan apa-apa. Untukmu, aku rela menunggu lebih daripada itu.”
Hilda berbunga-bunga. Dia segera lupa pada rasa bersalah yang menguras pikirannya selama di pesawat. Saat itu, dia bangga karena telah membuat pria romantis seperti Justin terpincut kepadanya.
Di mobil kemudian, Justin menyetir dengan satu tangan. Tangannya yang satu lagi mengelus-elus paha Hilda. Hilda melayang ke nirwana.
“Aku mau memperkenalkanmu dengan seseorang,” kata Justin Dumont tiba-tiba.