Hilda belum pernah melihat camar dari jarak dekat. Setahunya, camar cuma berkeliaran di sekitar pantai. Namun, saat itu, ada seekor camar di tepi jendela. Si camar tegak di sana, memekik-mekik tanpa memedulikan sekitar. Termasuk pendatang baru dari sisi lain dunia yang masih ingin tidur lebih lama. Sepertinya camar itu tidak sedang tersesat sebab Hilda bisa mendengar pekikan camar lain tak jauh dari sana.
Burung camar ternyata jangkung dan gempal. Tidak setegap elang, tetapi bukan juga semungil pipit. Hilda pernah satu kali melihat elang. Makhluk yang tampan. Sedikit berwajah arogan, tetapi kesan itu sesuai dengan auranya yang membuat makhluk lain segan mencoba macam-macam. Di mata Hilda, elang sama seperti kuda. Begitu gagahnya kedua hewan, sehingga yang betina sekalipun tidak terlihat lemah.
Dia di Belgia. Hilda ingat. Dia di rumah Justin, rumah yang akan segera resmi menjadi rumahnya juga setelah pernikahan mereka di bulan April nanti.
Di Indonesia, Hilda pernah beberapa kali ke pantai. Toh, tidak selalu juga dia bertemu camar. Kalaupun ada, mereka melayang tinggi, terlalu jauh di atas kepala. Tidak heran, semasa sekolah dasar, rata-rata siswa menggambar camar dengan membubuhkan banyak angka 3 di area yang dimaksudkan sebagai langit. Hilda yakin, dia bukan satu-satunya orang Indonesia yang tidak tahu detail tampilan camar.
Apa itu berarti tempat tinggal Justin memang sangat dekat pantai? Hilda ingat semalam mobil membelok beberapa kali sebelum akhirnya parkir di belakang Hotel Seaside.
Ingatan mengenai parkir menggiringnya ke apa yang terjadi beberapa menit sesudah itu. Valentina.
Hilda merengut dalam keremangan kamar, masih berbaring dan bergelung dengan penutup ranjang. Dia mencermati perasaan sendiri. Hilda tersadar, kemarahannya tidak lagi tertuju kepada Valentina.
Hilda sangat tersinggung dengan kata-kata gadis remaja itu. Namun Valentina punya alasan masuk akal untuk meragukan calon ibu tirinya. Yang tidak Hilda mengerti motivasi Justin berdusta. Meskipun Hilda juga tidak setuju dengan langkah drastis Justin untuk menghukum Valentina, tetapi apa gunanya berjanji memberi hukuman kalau ternyata tidak pernah berniat melaksanakan?
Baru hari pertama dan Hilda sudah bingung harus bersikap bagaimana kepada dua orang rumah. Dia bangkit dengan enggan, mampir mencuci muka di kamar mandi, kemudian turun ke ruang keluarga.
Valentina ada di meja makan, sibuk dengan ponsel di tangan. Justin sedang menonton siaran kompetisi ketangkasan. Satu lengannya terentang di sandaran.
Valentina mengangkat wajah dan tersenyum melihat Hilda muncul. Hilda melengkungkan sedikit bibirnya. Dia berharap itu cukup terlihat seperti senyum.
Justin menoleh mendengar langkah Hilda.
“Akhirnya Cantikku bangun.” Justin mengulurkan lengan, mengajak perempuan itu duduk bersamanya.
“Jam berapa sekarang?” Hilda membuat senyum yang sama seperti tadi, sembari menjatuhkan diri di samping Justin.
“Pukul empat sore.”
“Berarti aku tidur belasan jam, hampir 24?”
Justin tertawa. “Wajar. Ini, kan, kali pertamamu ke sisi barat. Bahkan mereka yang sudah biasa bepergian pun masih akan mengalami jet lag akibat perbedaan waktu siang dan malam di tempat tujuan dan lokasi asal. Minimal sampai beberapa hari.”
Hilda mengerang, menutupi wajah dengan tangan. "Kepalaku pengar rasanya."
“Kau lapar? Kalau masih bisa tahan, aku mau mengajakmu berkenalan dengan teman-temanku. Valentina tidak ikut. Dia bilang tempat itu bau panti jompo." Justin melirik putrinya dan tertawa. "Tempat itu semacam kafe, jadi kita bisa sekalian makan malam nanti di sana. Tapi kalau kau terlalu lapar, bisa kubuatkan roti lapis dulu.”
Dua-duanya bukan pilihan ideal. Hilda sebenarnya masih ingin bermalas-malasan di rumah. Namun, bayangan roti lapis tidak begitu menerbitkan selera. Di kafe kawan Justin mungkin ada makanan yang lebih enak.
“Ke tempat temanmu saja. Lebih cepat aku berkenalan dengan mereka, lebih baik, ‘kan?”
Justin mencium Hilda dengan berisik. "Itu baru pacarku!"