Malam itu, lama baru Hilda berhasil memejamkan mata. Kendati Justin sudah lelap di sampingnya sesudah percintaan mereka, Hilda terus-menerus memikirkan kecurangan Justin di Klub Pensiunan.
Justin menyebut Elsbeth sebagai “orang dekat”. Kepada Hilda, Justin memberi kesan bahwa Elsbeth merupakan seseorang yang sangat penting dalam hidup si pria. Karena itulah Hilda belum boleh beristirahat sebelum langsung memperkenalkan diri dulu di hari pertama kedatangannya.
Namun kalau hubungan Justin dan Elsbeth memang begitu akrab, mengapa Justin tega melakukan hal semacam itu? Elsbeth hanya wanita tua yang hidup sendirian dengan kualitas ingatan serta kesehatan yang makin bermasalah. Itu membuat perbuatan Justin kian keliru di mata Hilda.
Dulu, di salah satu stasiun televisi Indonesia, ada sebuah siaran yang memiliki penutupan khas. Sebelum program itu berakhir, akan muncul seorang pria bertopeng mengatakan, “Kejahatan terjadi bukan karena adanya niat, melainkan karena adanya kesempatan. Waspadalah!”
Peringatan itu bermakna bahwa kadang-kadang, manusia tergoda berbuat jahat bukan karena dia memang berprofesi sebagai penjahat, melainkan karena dia tiba-tiba melihat ada kesempatan untuk berbuat jahat.
Keberadaan program tersebut memang tidak serta-merta menurunkan angka kasus kriminalitas. Namun berkat acara itu, Hilda yakin, cukup banyak pemirsa yang kemudian jadi lebih berhati-hati dalam berurusan dengan siapa pun sehari-hari. Nasihat di penutupan program itu mendorong masyarakat mengaktifkan alarm diri sendiri sehingga tidak mudah berperilaku naif.
Sebagai lulusan sekolah hukum, Hilda dilatih mencermati setiap peristiwa dengan mempertimbangkan sejumlah hal. Misalnya, untuk sebuah tindak kriminal terjadi, perlu ada Alat atau Kemampuan yang memungkinkan Pelaku melakukan Kejahatan, Motivasi sehingga Pelaku terdorong melakukan Kejahatan, serta Kesempatan untuk Pelaku melakukan Kejahatan.
Jika dia menerapkan ketiga hal itu pada kelakuan Justin di Klub Pensiunan, apakah sesuai?
Hilda membayangkan sebuah dinding putih dalam pikirannya, kemudian menempelkan satu per satu kertas bertuliskan faktor-faktor tersebut ke sana.
Alat Justin kemungkinan besar adalah klub itu sendiri. Pasti di situlah Justin berkenalan dengan Elsbeth Morel-Danheel. Hilda akan memastikannya lagi dengan mengorek keterangan dari Justin.
Kesempatan Justin, ya, setiap pertemuannya dengan Elsbeth, baik di Klub Pensiunan, maupun di rumah wanita tua itu.
Tersisa Motivasi. Apa motivasi Justin? Uang? Bukankah dia akuntan yang juga adalah pemegang saham firma akuntansi?
Bagaimana dengan Kemampuan? Menghadapi sasaran empuk seperti perempuan tua berusia 70 tahunan, jelas Justin mampu. Tapi mau? Kenapa Justin mau melakukan hal semacam itu? Ada anak rantai yang hilang. Hilda belum tahu apa. Samar-samar, dia mendengar ombak berdebur-debur secara teratur di kejauhan.
Hilda menyingkirkan analisisnya yang pertama. Dia mau mencari sudut pandang lain.
Berdasarkan Segitiga Kejahatan, ada tiga hal yang memungkinkan sebuah kejahatan terjadi: Keinginan Pelaku, Keberadaan Korban, dan Kesediaan Kesempatan.
Hilda merenung. Jawaban untuk ini, sama saja seperti tadi. Korban dalam kasus ini jelas. Elsbeth. Wanita tua yang sudah bermasalah dengan memori, yang untuk urusan sehari-hari sering membutuhkan bantuan orang lain. Kesempatan untuk mencurangi korban semacam ini pasti tidak sulit dicari.
Lagi-lagi, tersisa satu ketidakjelasan: Keinginan Pelaku. Apakah Justin memang memiliki Keinginan, ataukah dia sekadar punya Kesempatan seperti kata peringatan di program televisi itu?
Yang mana pun, pertanyaan tersebut punya bentuk lain: Apakah Justin memang sedang melakukan kejahatan? Jika jawabannya YA, apakah kejahatan itu terencana? Pemikiran soal itu membuat Hilda tidak nyaman.
Dia lebih tidak nyaman lagi membayangkan pertanyaan selanjutnya. Apa saja yang sudah pernah Justin perbuat kepada Elsbeth kalau begitu?
Orang yang sedang menyita pikirannya berbalik dalam tidur dan memeluk pinggang Hilda dari belakang. Hilda memejamkan mata, berpura-pura lelap sampai lelap tidak lagi menjadi kepura-puraan.
***
Paginya, saat sarapan sarapan, Justin berkata, “Hari ini kau akan kuperkenalkan ke teman-teman yang lain lagi ya.”
“Oke.” Hilda mengangguk setengah hati, membayangkan bahwa itu berarti pada waktu makan siang nanti dia akan kembali bertemu roti.
Hilda rindu nasi. Hari sebelumnya dia salah perhitungan, mengira Klub Pensiunan punya menu bervariasi. Ternyata, tempat itu hanya menyajikan camilan bergaya internasional. Kentang goreng. Bola-bola ayam. Keripik. Roti lapis.
Hilda melirik bahan-bahan roti lapis di atas meja. Mereka bertiga sedang berbagi dua buah baguette, roti khas Prancis yang panjang dan bentuknya seperti lengan orang dewasa. Justin menggunakan pasta hati ayam sebagai olesan, lalu menambahkan sehelai salami. Valentina menggunakan pasta kepiting yang dia campur dengan cukilan keju. Kombinasi yang mana pun membuat Hilda bergidik. Satu-satunya bahan yang tampak normal adalah sestoples krim cokelat. Hilda memutuskan untuk menggunakan yang itu saja.
Hilda menggigit ujung roti. Terdengar bunyi renyah bersamaan dengan remah berhamburan. Hilda mengusap-usap bibir untuk menjatuhkan remah yang masih melekat di sekitar mulutnya. Sekarang dia merindukan roti tawar lembut-wangi ala Indonesia.
“Kita bisa singgah berbelanja hari ini? Aku ingin ke supermarket membeli bahan masakan,” kata Hilda.
“Bisa. Nanti sesudah kita makan siang di tempat temanku. Mereka pemilik restoran kebab.”
Aha!
Hilda berharap hari itu dia akan lebih beruntung. Kemudian dia teringat sesuatu. “Eh, jam berapa kau perlu ke kantor?”
“Nanti saja.” Justin menjawab singkat. Matanya tak lepas dari siaran kompetisi bakat di televisi.
Nanti saja? Hilda mengerutkan dahi. Jawaban itu aneh menurutnya. Namun Hilda membiarkan momen itu lewat.
Mereka bertiga lalu melanjutkan makan dalam diam, cuma diselingi sesekali suara tawa Justin saat juri dalam siaran membuat komentar menggelitik. Valentina, seperti biasa, sibuk dengan ponsel di tangan, entah berselancar atau mengobrol dengan teman sambil menggerogoti roti. Hilda dan Valentina belum pernah benar-benar berbicara kepada satu sama lain.
Setengah jam kemudian, sementara Hilda dan Justin mengembalikan salami, pasta daging, dan keju ke lemari pendingin, Justin berkata, “Aku lupa memberimu password rumah kemarin. Kita bisa melakukannya sekarang. Yuk!” Justin menarik Hilda ke meja di dekat jendela.
Justin lalu duduk di depan komputer. Hilda dia biarkan berdiri di samping. Justin mengakses mesin pencari, membuka laman media sosial, dan mengeklik opsi Tambah Akun.
“Apa kata kuncimu?” tanyanya.
“Hah?”
“Kata kunci untuk masuk ke akunmu.”
Justin menengadah, menunggu jawaban. Hilda balas menatap Justin dengan pandangan bimbang. Dalam benak, dia melakukan penelusuran cepat pada daftar Kotak Masuk media sosialnya. Adakah yang tidak sebaiknya Justin lihat?
“Tidak hafal?” Justin mengejar.
Hilda memasang mimik malu di wajahnya. “Iya, duh, kebiasaan burukku. Aku punya terlalu banyak password memang. Setiap akun pakai kata kunci berlainan.”
“Tapi kau punya buku catatannya, ‘kan? Ada di mana buku catatan itu? Biar kuambilkan supaya bisa kita lihat sama-sama.”
Bukan itu reaksi yang Hilda harap. Perempuan itu memutar otak.
“Oh, tidak. Tunggu sebentar. Rasanya aku ingat. Begini.” Hilda meraih pulpen dan sehelai kertas dari tumpukan di meja, kemudian menuliskan kode masuk akun media sosialnya.