Rumah Pantai

Ishmaly Hana Hamdi
Chapter #10

10. MASA ITU

Valentina menuruni beberapa anak tangga lagi. Sampai di tengah, dia berdiri di sana dengan wajah sangsi. “Sepertinya aku mendengar orang berteriak.”

Hilda memaksa diri tertawa. “Itu tadi aku. Kami sedang main-main. Maaf, ya.”

Dia dan Justin berdiri menyamping sehingga yang Valentina lihat hanya tangan kanan ayahnya merangkul pinggang Hilda. Pinggul mereka berdempetan seolah-olah terpergok hendak bermesraan. Yang tidak terlihat dari posisi Valentina adalah tangan kiri Justin masih mencengkeram lengan atas Hilda keras-keras. Kelar bicara, rahang Hilda sampai mengatup menahan air mata yang hampir keluar. Dalam hati dia bertanya, apakah daging bisa "pecah"?

“Oh, kukira ada apa.” Valentina memutar badan, hendak kembali ke atas, ke kamar yang Justin sediakan untuk kunjungan tiap akhir pekan dan liburannya.

“Valentina, tunggu.” Justin tiba-tiba berseru. “Sebenarnya Papa dan Hilda mau ke swalayan sebentar lagi. Apa tidak sebaiknya kau ikut? Pasti ada sesuatu yang mau kau beli, ‘kan? Kau belum keluar ke mana pun beberapa hari terakhir ini. Mamamu tidak akan senang kalau dia tahu.”

“Ew! Untuk apa aku menonton orang tua sendiri berpacaran?” Valentina memutar mata. “Lagi pula, kalau sedang masa sekolah, aku keluar selama lima hari dalam satu minggu. Apa salahnya bersantai di rumah pada hari yang tersisa?”

“Maaf, Manis. Kau tahu sendiri mamamu fanatik dengan kesehatan. Lebih baik menghindari omelannya, kalau bisa. Papa tidak mau kau dimarahi lagi.”

“Mama sih bukan fanatik lagi! Mama terobsesi dengan matahari! Apa dia betul-betul percaya matahari bisa membantuku membakar lemak? Memangnya aku obesitas sampai-sampai perlu sekali membakar lemak setiap hari!?”

“Tentu saja tidak, Sayangku. Kau jelita. Kau bongsor karena mewarisi gen Papa.” Cengkeraman Justin di lengan Hilda melonggar.

Di tangga, mimik keras kepala Valentina juga melembut. “Kenapa sih aku tidak bisa tinggal dengan Papa saja?”

Justin tersenyum kepada anak gadisnya. Cengkeramannya lepas sama sekali. Seakan-akan tidak ingat lagi pada hal yang baru terjadi, Justin meraih tangan Hilda dan menautkan jari-jemari mereka. “Papa juga berharap begitu, Valentina Sayang. Tapi mau bagaimana lagi? Pengadilan memberikan hak asuh pada mamamu. Kalau kau memang lebih suka di sini, nanti Papa bicara pada Mama agar dia mengizinkanmu menghabiskan seluruh liburan bersama Papa dan Hilda saja. Untuk sekarang, kau jadi ikut, ‘kan?”

“Mau!” Valentina berderap menuruni tangga.

 

***

 

Bahkan kelelahannya akibat perjalanan melintasi benua tidak membuat Hilda seletih hari itu. Menit-menit yang dia habiskan untuk menahan sakit selama Justin mencengkeram lengannya sembari berbicara dengan Valentina membuat tenaga Hilda terkuras. Dia seakan-akan habis berlari. Rasa ngeri menjadi sebuah simpul mati di ulu hati perempuan muda itu. Bagaimana nanti dia akan tidur satu ranjang dengan laki-laki yang pernah mengancamnya menggunakan pisau?

Di kursi depan mobil pinjaman Justin, Hilda duduk dengan kaku selama perjalanan menuju swalayan. Mereka tidak menuju supermarket dekat rumah yang sudah beberapa kali dilihatnya waktu keluar. Mereka akan ke sebuah toko grosir ternama untuk membelanjakan kupon yang dimenangkan Elsbeth.

Terjawab sudah teka-teki yang membuatnya sulit tidur semalam. Justin ternyata sedang mengalami kesulitan keuangan. Bukan berarti itu bisa menjadi pembenaran.

Kendati demikian, pengakuan Justin menciptakan lebih banyak pertanyaan. Satu di antaranya adalah bagaimana bisa mereka masih menempati rumah itu kalau rumah merupakan salah satu aset Justin yang pengadilan sita?

Namun bagaimana Hilda bisa mencari tahu lebih banyak setelah insiden baru-baru? Apakah dia bahkan ingin tahu lebih banyak? Perasaan apa pun yang pernah dia punya terhadap laki-laki itu sudah menguap seketika Justin mengacungkan pisau ke dekat lehernya.

Di samping, Justin bernyanyi-nyanyi mengikuti lagu yang mengalun dari pemutar musik. Angin bulan Januari menderu dalam mobil yang melaju kencang di jalan bebas hambatan.

Dua puluh menit kemudian, Justin membelokkan mobil memasuki halaman parkir toko grosir. Mereka mencari-cari tempat, tetapi semua spot sedang terisi. Justin sempat mempertimbangkan untuk menggunakan area parkir penderita disabilitas. Namun saat mereka mendekati petak dengan penanda khusus itu, mereka melihat seorang wanita berkursi roda sedang bertengkar dengan perempuan tua pengemudi sedan. Sepertinya, perempuan tua itu juga memiliki ide yang sama dengan Justin.

Justin membatalkan niatnya dan memutari keseluruhan lahan parkir itu tiga kali lagi sampai dia menemukan sebuah mobil yang hendak keluar.

Valentina turun, mengenakan jaket gembung toska dan rok mini berbahan jin, dipadu sepatu bot hijau muda. Hilda melirik tungkai telanjang Valentina dengan mulut terbuka. Namun Valentina bukan satu-satunya orang yang masih mampu mengenakan pakaian minim pada cuaca berangin kulkas. Dari kejauhan, Hilda bisa melihat beberapa pengunjung lain juga mengenakan lengan atau celana pendek sedang mengantre di kasir, di dekat pintu masuk.

Toko grosir itu bergaya Industrial, hanya punya satu lantai, tetapi lahan parkirnya hampir seluas ukuran lapangan sepak bola berstandar internasional. Mengingat mereka tadi sempat kesulitan mencari tempat memarkirkan kendaraan, Hilda menebak, semua pemilik mobil tersebut pasti sedang berbelanja di sana. Ruang dalam toko grosir itu mestilah sangat luas juga.

“Hilda, nanti kau bisa membantuku memilih eye shadow? Aku suka warna pemulas mata yang kau pakai. Itu gaya smokey, ‘kan? Menurutmu, warna itu akan cocok denganku juga?” Valentina melongok dari sisi kanan Justin, bertanya pada Hilda yang berada di sisi kiri.

“Hah?” Hilda menoleh tak percaya, mengamati remaja 16 tahun yang baru hari itu berbicara kepadanya.

Valentina menunggu jawaban Hilda dengan mata biru yang sama dengan ayahnya.

Lihat selengkapnya