Sabtu pagi, Hilda terbangun oleh pekikan camar itu lagi. Dia memalingkan wajah ke arah jendela dan mengamati makhluk yang berdiri di sana. Lalu Hilda berpikir, mungkin dia salah. Mungkin itu camar yang berbeda. Semua camar tampak serupa. Pasti dia saja yang tidak bisa membedakan.
Namun kemudian Hilda berpikir lagi. Sama ataupun bukan, mengapa camar-camar itu selalu hinggap di jendelanya? Kedatangan mereka seperti membawa pesan.
Justin adalah kesalahan. Kesalahan fatal untuk sesuatu yang telah membuat Hilda meninggalkan Heru dan kenyataan di rumah Indonesia. Mungkin itulah yang camar itu ingin sampaikan pada hari pertamanya terbangun di sana. Hilda mesti secepatnya terbang. Cari selamat. Lari dari Belgia. Jika tidak, dia masih akan tetap terpaksa mengalami peristiwa semalam.
Camar itu pergi. Hilda kembali berpaling, ganti menatap langit-langit. Seluruh bobot pikirannya pindah ke belakang kepala, membuat tubuhnya kian terbenam pada matras. Sesuatu yang menjijikkan melingkupinya. Bau Justin serta bau tubuhnya sendiri terkontaminasi bau Justin.
Sepelan mungkin agar tidak menggerakkan bagian selimut yang menutupi si pria, Hilda menyingkap selimut dari pundak. Dia memandang ke kanan bawah. Sebuah lebam besar telah terbentuk pada lengan atasnya. Ada sesuatu yang lengket berbau khas juga di sana. Teringat apa saja yang terjadi semalam, Hilda tahu, sesuatu itu ada di situ, serta di beberapa permukaan tubuhnya yang tanpa busana.
Hilda merasa jijik pada diri sendiri.
Dia beringsut bangkit, juga sepelan mungkin. Hilda melakukannya dengan membayangkan jiwa yang sedang meninggalkan raga pelaku pengalaman astral. Dia menurunkan satu kaki ke lantai, kemudian, setelah berhasil mengangkat separuh badan dari ranjang, dia menyusulkan kaki kanan.
Hilda menoleh ke belakang. Dengkur Justin masih beraturan. Kelopak matanya juga masih rapat, tidak bergerak-gerak. Hilda melirik ponsel yang tergeletak di nakas. Perempuan itu menimbang-nimbang, apakah dia sebaiknya menggunakan kesempatan tersebut untuk menghubungi Heru dari kamar mandi?
Memikirkannya ulang, Hilda menganggap rencana tersebut tidak bijaksana. Justin bisa sewaktu-waktu bangun. Membawa ponsel ke kamar mandi hanya dilakukan oleh orang-orang yang punya sesuatu untuk disembunyikan. Dia tidak sebaiknya mengambil risiko kehilangan alat komunikasi juga. Lebih baik bermain aman sesuai kesepakatan. Hilda hanya akan menghubungi Heru saat Justin sedang menggunakan kamar mandi.
Hilda berjingkat pergi untuk membersihkan diri.
***
Di luar jadwal, pada pukul setengah dua belas siang, mantan istri Justin datang menjemput Valentina. Orang tuanya hendak berkunjung. Mereka akan mampir dalam perjalanan darat menuju tempat retret senior 155 kilometer dari sana. Valentina perlu bertemu kakek dan neneknya.
Mendengar ibu Valentina akan datang, tak urung, Hilda penasaran. Seperti apa rupa perempuan yang pernah tercatat dalam dokumen pemerintah sebagai istri Justin Dumont? Mengapa mereka bercerai? Apakah dia mengalami hal yang sama dengan Hilda dan oleh sebab itu memutuskan berpisah?
Ketika ponsel Valentina berdenting diikuti bunyi klakson dari jalan depan, Hilda pergi ke balkon kamar dan melongok ke bawah. Isabelle Janssen bersandar di pintu pengemudi. Tungkai panjangnya menyilang. Jaket pendek berkerah segi tiga besar memperjelas bahu lebar si perempuan berkulit kecokelatan. Dia adalah Valentina dalam versi yang lebih ramping dan terbakar matahari.
Tatapan Isabelle mengarah pada sesuatu di teras bawah, tetapi dia hanya mengangguk tanpa tersenyum. Justin.
Menyadari gerakan di teras lantai dua, Isabelle mendongak. Melihat Hilda, dia lama menatap perempuan itu dengan sorot tak terbaca. Interaksi tanpa kata mereka terhenti karena kemunculan Valentina berjalan mendekati mobil ibunya.
Valentina memergoki ibunya mendongak ke teras atas, maka dia membeo melakukan hal yang sama. Melihat Hilda ada di sana, Valentina melambaikan tangan. “Sampai nanti, Hilda!” Lalu Valentina melambai pada Justin juga. “Daaah, Papa!”
Hilda memaksakan sebuah senyum dan balas melambai, ngeri membayangkan bahwa sekarang dia hanya akan berdua dengan Justin di rumah.
“Meong!”
Hilda menoleh. Kucing oranye milik tetangga sedang menatapnya dari teras sebelah.
“Hei, Pus! Sini!” Hilda mengulurkan tangan.
Kucing itu melangkahi tembok pembatas kedua flat tanpa kesulitan, menyisip di antara tanaman, menyusuri tembok pagar teras sampai ke tempat Hilda.