Minggu sore, sesudah acara menjijikkan yang mendorong Hilda untuk mandi dua kali, Justin membawanya ke toko kebab Roshan dan Safeea Rasheed untuk mengembalikan mobil. Selesai dari sana, mereka berjalan menuju stasiun kereta.
“Ini hari dansa di Klub Pensiunan,” kata Justin.
Artinya, tak ada permainan Bingo hari itu. Ketika Hilda dan Justin tiba di tempat kumpul-kumpul para manula, semua meja dan kursi tidak sedang tertata sebagai kelompok-kelompok yang menyebar. Meja-meja ada di sepanjang dinding, tiap meja diapit dua kursi saja. Kursi-kursi lainnya berada di antara, menghadap ke ruang kosong di tengah. Saat itu, sejumlah orang telah membentuk lingkaran di sana, masing-masing memegang pinggang orang di depannya.
Belum juga mereka mengambil tempat duduk, Simon Leman datang memanggil Justin. “Nah, Sobat, untunglah kau sudah tiba. Aku butuh bantuanmu sebentar untuk mengatur audio. Mereka sudah mau mulai.” Camille tak terlihat di mana pun. Elsbeth juga tidak.
Dalam hati, Hilda berterima kasih kepada si Beruang Madu—nama yang diam-diam dia sematkan kepada si laki-laki pengurus klub. Hilda berjalan lebih ke ujung dan memilih satu kursi yang jauh dari “pusat keramaian”.
Sehelai kartu tersemat apik di samping vas bunga di meja. Hilda meraih dan membacanya. Menu hari itu couscous yang dimasak bersama bayam dan diberi perasan lemon. Menu pendampingnya ada dua: udang goreng tepung atau bola-bola bakso dari daging artifisial. Hilda belum pernah mencicipi bakso artifisial, tetapi kedua menu terdengar enak. Tanpa sadar Hilda tersenyum.
“Senyuman itu berarti apa?” Sebuah suara menyapanya.
Hilda mengangkat wajah. Itu pria necis yang memimpin permainan Bingo hari Kamis lalu. Pria itu menarik kursi di hadapan Hilda dan duduk di sana.
“Oh, hai!” Hilda tersenyum malu. “Bukan apa pun. Aku cuma jadi agak lapar membaca keterangan menu itu. Padahal, aku bahkan tidak pernah tahu apa rasanya daging buatan.”
Pria itu ikut tersenyum. “Kita belum sempat berkenalan. Oliver.” Dia mengulurkan tangan melintasi meja. Seluruh kenop kemeja ungu mudanya terkancing sempurna.
Hilda memberikan tangannya juga. “Hilda.”
“Iya, aku tahu.”
Mereka sama-sama tertawa.
“Daripada kau penasaran, mau memesan makananmu sekarang saja? Kebetulan hari ini Clara—dia istriku—ada di ruang belakang.”
“Istrimu juru masak Klub Pensiunan?”
“Oh, bukan.” Oliver tertawa. “Kami sebenarnya punya toko bahan rajutan. Tapi kalau hari Minggu, sesekali Clara membantu di sini. Aku sendiri lebih bebas, bisa datang kapan saja. Bagaimanapun, dia lebih paham soal ukuran, jenis benang, dan segala tetek-bengek itu. Seringnya, aku hanya membuat pembeli frustrasi karena tidak mengerti apa yang mereka cari.”
Hilda tertawa lagi.
“Oh, sebentar. Rasanya kami masih menyimpan kelebihan satu sweater rajutan di sini. Tadinya itu untuk pemenang permainan Bingo. Tapi, sepertinya orang itu menolak karena ukurannya tidak pas. Tunggu, ya, kuambilkan.” Oliver pergi menerobos peserta dansa, menuju pintu di samping panggung.
Waktu dia kembali, dia membawa sebuah bungkusan plastik bening di dalam tangan.
“Maaf, tidak ada kantong kertas yang tersisa. Hanya ini yang ada di sana.”
Hilda menerima hadiah tak terduga tersebut dengan perasaan campur aduk. Itu uluran persahabatan yang tidak dia sangka-sangka.
“Terima kasih banyak.”