Rumah Pantai

Ishmaly Hana Hamdi
Chapter #14

14. MASA KINI

Sudah lewat tengah malam ketika Justin Dumont melakukan kunjungan rutinnya ke apartemen Lena Ranst, si perawat. Itu malam yang berangin dan basah. Cuaca yang cukup normal pada bulan-bulan musim dingin di Belgia.

Untuk kali ini, Justin tidak perlu meniti seratus lima puluh meter area berpasir demi mencapai tempat tinggal Lena. Saat itu dini hari, pukul dua. Kebanyakan orang sudah lelap, letih dengan persiapan natal yang tak ada habisnya. Justin bebas melangkah santai-santai di sepanjang setapak berbatu merah. Penampilannya kasual, seperti pria biasa yang sedang menderita insomnia dan memutuskan mencari kantuk di udara malam. Meskipun demikian, Justin berhati-hati. Dia menghindar jauh-jauh dari area pantai yang berhias lampu.

Saat itu, ada terlalu banyak lampu di sana. The Salt, alias Garam, merupakan nama julukan bagi pesisir tempat tinggal mantan kekasihnya. Area tersebut populer sebagai satu di antara empat pantai andalan Knokke-Heist bagian utara. Yang biasa berkunjung ke sana bahkan seringnya bukan warga lokal biasa, melainkan para elitis kota hingga mancanegara. Ada kebanggaan tersendiri ketika para pengunjung kemudian memajang foto liburan mereka berlatar pondok-pondok pantai eksklusif bersetrip biru dan putih. Persis warna celana Obelix, yang bersama sahabatnya, Asterix, serta warga sedesa mereka, merupakan tokoh komik ciptaan Rene Goscinny.

Pada masa-masa istimewa seperti natal, pemerintah kota praja jorjoran memasang hiasan. Di sepanjang setapak dekat bukit pasir The Salt saja Justin telah menghitung ada dua belas ekor rusa—bukan yang asli, tentunya—berdiri tidak berdua-dua, melainkan satu, berurutan di sepanjang dua kilometer itu. Kereta salju berpintu merah dipasang tepat di depan jalan utama untuk masuk ke kawasan pantai. Kereta tanpa pengemudi itu parkir di bawah sekelompok pohon lampu yang seolah meloncat keluar dari lukisan malam Vincent van Gogh.

Lampu hias di deretan rumah pantai tak kalah mengesankan. Pada setiap muka rumah yang memiliki pekarangan, pemerintah telah memasang jamur-jamur berkilau, lengkap dengan makhluk cebol berwajah imut-imut berdiri menemaninya.

Jika di sana ada pohon, pemerintah menambahkan bangku taman di bawah situ. Bukan untuk diduduki karena setiap bangku sudah punya “penghuni”—patung pria atau wanita yang seakan-akan sedang membaca dari ponsel bercahaya dalam tangan.

Begitu banyaknya lampu yang terpasang di kawasan pantai Het Zoute, Knokke-Heist, sehingga pada malam hari, keseluruhan kawasan itu jadi terlihat kuning. Justin beruntung karena rumah sewa Lena justru di samping kelebihan lahan tak terurus. Bahkan pemerintah kota yang begitu royal pun mengabaikan sepotong area tersebut.

Langkah Justin membuat kersak di rumput basah. Malam itu dia mengenakan pasangan jaket dan celana tahan angin serta tahan air untuk melindungi tubuh. Sayang, kedua benda tidak bisa membungkus tangan juga. Justin merutuk waktu tangannya berkali-kali selip setiap dia melompat untuk mencengkeram pagar tetangga Lena.

Sesudah percobaan ketiga yang terus-menerus gagal, Justin membungkuk. Dia mengambil segenggam tanah, menggosok-gosokkannya dengan dua tangan sampai tanah lembap itu terasa mengering dan berkerak pada telapaknya. Lalu, tak ada lagi masalah. Satu kali saja dia mencoba ulang, tak lama kemudian, dia sudah berhasil naik ke serambi si Pria Reiki.

Seperti biasa, kamar lengang. Kali itu, yang terpasang di tempat tidur adalah seprai mengilap berwarna kuning belerang. Tetangga Lena itu mestilah punya sumber penghasilan yang stabil dan memadai untuk bisa membiayai kebiasaannya bepergian ke mana-mana. Justin keluar dari kamar si pria untuk menuju ke pintu sambung di ruang tengah.

“Berengsek!” Justin mengumpat.

Pria itu ada di sana, bersila di atas bantal bundar, sedang bermeditasi dalam keremangan. Paling tidak, pasti itulah yang sedang dia lakukan sesaat sebelum mendengar langkah penyusup rumahnya. Sekarang, mata Pria Reiki terbuka dan dia melongo menatap Justin.

Justin juga tertegun. Sudah sekian minggu berlalu baru dia ulang ke situ. Dia terlambat sadar bahwa, kali ini, rumah tersebut bukan tidak berpenghuni karena semua lampu padam. Hanya ada sedikit cahaya dari dapur yang tadi tidak terlihat dari kamar.

Tetangga Lena bangkit terburu-buru sampai terhuyung dan tersandung. Dia lari ke perbatasan ruang duduk dan dapur.

“Si-siapa kau? Mau apa? A-apa yang kau mau? Cari apa kau di rumahku? A-a-aku tidak punya apa-apa.” Setelah kagetnya hilang, Pria Reiki justru berbicara sampai kelebihan kata.

Lihat selengkapnya