Rumah Pantai

Ishmaly Hana Hamdi
Chapter #15

15. MASA KINI

Lena terkesiap ngeri menyaksikan ruangan yang porak poranda serta pemandangan dan sosok yang ada di sana. Dia menjerit, lalu berbalik lari, kembali ke rumah sendiri.

Justin bangkit dan mengejar dari belakang. Sol sepatu yang basah membuatnya selip menabrak pajangan bonsai, tetapi Justin cepat memperoleh kembali keseimbangannya. Dia tiba di pintu sambung, mencoba memutar pegangannya, tetapi pintu telah dikunci dari sisi rumah yang satu lagi.

“Lena, buka pintunya.”

Lena Ranst cukup pintar untuk tidak menyanggupi permohonan tersebut.

“Lena, ayolah, biarkan aku masuk. Kita butuh bicara.”

“Apa dia mati? Apa kau membunuh Patrick?” Perawat itu bertanya dari sebelah. Suaranya terdengar cukup jauh dari pintu. Tercekik.

Justin menaruh dua tangan pada daun pintu dan menggeleng pada papan bercat cokelat itu. Dia mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Kau sudah terima kirimanku?”

“Aku tidak mau apa pun darimu, Justin! Sudah sekian bulan kita putus! Tolong periksa keadaan Patrick!”

“Itu, kan, katamu. Kau memutuskan sepihak saja. Aku, kan, tidak. Tidak adil begitu, Lena.” Justin Dumont seolah-olah tidak mendengar kata-kata terakhir mantan pacarnya.

“Aku akan memanggil polisi.”

“Lena, ayolah, aku rindu. Aku hanya mau melihatmu. Aku tahu kau suka mawar-mawar itu. Benar itu, kan, jenis mawar kesukaanmu? Apa kau menghitungnya? Jumlahnya 36, lo, persis usiamu yang sekarang.”

“Berhentilah mengirimiku hadiah, Justin! Pikiranku tidak akan berubah! Kau sadis dan tidak stabil! Pergi sekarang atau aku akan berteriak membangunkan semua tetangga.”

“Jangan begitu, Lena. Dulu katamu aku manis.”

“Dulu aku buta! Dan tolol! Sekarang tidak! Tidak akan lagi aku tertipu dengan pujian-pujian dan pemberian-pemberianmu. Tolong, pergilah. Aku harus memanggilkan ambulans untuk Patrick.”

Wajah Justin Dumont menggelap mendengar kata-kata mantan kekasihnya. Dia membentur-benturkan dahi ke pintu sambung itu.

“Patrick, Patrick, Patrick terus!” Justin menyebut nama tetangga Lena dengan menggemeretakkan gigi.

Dia mundur satu langkah dan menghantam pintu dengan pundak.

Di rumah sebelah, Lena memekik.

Justin mundur lebih jauh dan membenturkan ulang dirinya ke pintu sambung. Bunyi debum menggetarkan dinding gedung.

Terdengar keributan di rumah sebelah.

Justin berhenti dan mendengarkan. Apakah Lena tidak menggertak soal akan memanggil para tetangga?

Justin memperbaiki ancang-ancang. Awalnya dia mengira pintu itu sama ausnya dengan pintu teras Patrick. Siapa sangka pintu tengah ini cukup kokoh.

Setelah pendobrakan yang ketiga, pintu itu berderak, sebagian kayunya mencuat. Justin mundur lagi, melihat di bagian mana kerusakan telah paling banyak terjadi. Dia menambahkan satu tendangan ke bagian terlemah. Pintu pun terpentang!

Jeritan Lena melengking panjang di tengah malam.

Justin masuk dan menemukan bahwa si perawat telah mendorong berbagai perabotan menjadi semacam bahan alang-rintang di ruang duduk itu.

“Lena, ayolah.”

Namun, dia berbicara ke ruang kosong.

Justin merogoh kantong untuk mengambil pistol—semua orang takut melihat senjata api—tetapi tidak menemukan benda itu di sana. Entah jatuh atau terlupa di kediaman Pria Reiki.

Justin mengumpat dalam hati. Gara-gara si kerempeng bodoh itu!

Dia memanjat sofa hanya untuk turun lagi dari sisi sebelahnya, lalu menyingkirkan meja makan dari jalan menggunakan pinggul.

Justin melongok ke kamar mandi. Kosong.

Dia menekan pintu kamar mandi sampai tersandar ke dinding. Tidak ada Lena bersembunyi di situ.

Di balik tirai, nihil.

Dia ke kamar tidur, memutari ranjang ke sisi terjauh. Tidak ada juga.

Di balik gorden juga tidak.

Justin ke dapur. Lengang.

Ke ruang jemur. Hanya ada debu. Lena punya mesin cuci yang sekaligus berfungsi sebagai pengering pakaian. Dia tidak pernah menggunakan ruangan itu. Lena kapok tahun lalu seragamnya tidak kering-kering gara-gara musim dingin tiba bersamaan dengan musim hujan.

Lihat selengkapnya