Selagi mobil terbanting-banting mendecit di setiap belokan jalanan kota, pipi Hilda Widyatama tergencet lantai van. Camille, di punggungnya, menindih Hilda dengan melintangkan diri di sana. Simon mencengkeram dua tungkainya. Seluruh bobot si Beruang Madu ada di situ.
Hilda sempat mencoba memanjang-manjangkan tangan untuk meraih apa saja. Dalam bayangannya, benda itu akan dia gunakan menghantam kepala salah seorang Pasangan Leman. Sayang, Camille lekas memegangi lengannya juga.
Merasakan tangan yang kosong membuat Hilda tersadar. Dia tidak lagi memegang baju hangat pemberian Oliver. Bingkisan itu pasti terjatuh sewaktu dia diringkus di depan gereja.
Badannya sakit di semua tempat. Hilda yakin tak hanya wajahnya yang akan punya lebam akibat terbentur waktu dilemparkan ke dalam van. Selain memar kehitaman yang ada di lengan atasnya sejak Jumat, lebam-lebam baru akan muncul juga.
Hilda memejamkan mata dan menghitung setiap sakit yang terasa. Denyut-denyut nyeri tersebut datang dari setiap titik yang tertekan ke lantai van. Tulang pipi sebelah kanan. Rahang kanan. Pelipis kanan. Selangka. Tulang dada. Seluruh tungkai dan sepanjang lengan, terutama sisi dalam siku.
“Kau baik-baik saja?” Dia mendengar Camille bertanya. Hilda tidak yakin pertanyaan itu untuknya, jadi dia melirik dengan ekor mata, semaksimal yang bisa dia lakukan dalam keadaan wajah tergencet.
“Tidak apa-apa. Cuma luka gores. Dia mencakarku tadi.” Simon Leman menjawab pertanyaan istrinya.
Hilda memaksa diri berbalik beberapa sentimeter agar bisa melihat apa yang pasangan itu bicarakan. Dia tertawa ketika melihat alur merah berdarah di wajah berbulu Simon Leman. Sebagai balasan, Camille menekannya lebih keras ke lantai, sampai-sampai, Hilda merasa tulang dadanya akan patah.
Ketika kendaraan bertuliskan Kebab Habibti itu akhirnya berhenti di depan restoran dengan nama serupa, Justin menoleh dari balik setir.
“Agak ramai hari ini. Bawa Hilda ke dalam, tapi tempel terus, jangan sampai dia lari lagi.”
Saat itu, ada banyak pejalan kaki sedang berseliweran di depan restoran kebab milik Pasangan Rasheed. Kebanyakan orang-orang itu di trotoar seberang, sedang membelok ke kiri, ke setapak tepi pantai. Ada juga yang tengah menyeberang ke sana untuk memasuki kawasan.
Rupanya, kendati angin musim dingin masih menggigit pada sore bulan Januari, pengunjung pantai tidak berkurang. Pasangan-pasangan dan keluarga-keluarga berjalan berdua atau berkelompok-kelompok mengenakan jaket parka dalam berbagai warna. Tawa anak-anak terdengar di kejauhan—mungkin sedang membangun istana pasir atau berseluncur di arena permainan.
Camille mengangkat dirinya dari punggung Hilda.
“Tahan dulu,” kata perempuan jangkung itu pada Simon Leman.
Setelah Camille menggeser pintu van sampai terbuka, Simon menarik bagian leher jaket Hilda, memaksanya bangkit dari lantai. Seketika itu juga, darah menderas ke bagian-bagian tubuh yang sebelumnya tidak memperoleh pasokan.
“Aw! Aw! Aw!” Hilda otomatis berteriak-teriak.
“Diam, Hilda!” Justin menghardik.
“Sialan kau! Aku kesemutan! Gara-gara dua begundalmu ini!” Hilda balas membentak, mengedikkan dagu ke Simon dan Camille. “Aw! Aw! Aw! Aw!”
Pasangan Leman memandang Justin.
“Tidak usah pedulikan. Itu pasti akal-akalannya saja.” Justin Dumont turun dan menunggu di depan pintu. Camille berdiri di sampingnya, bersiap mengawal salah satu sisi.
Simon mendorong Hilda keluar dari mobil. Seperti lalu lintas macet yang mendadak longgar, gerakan itu mengundang lebih banyak rasa menusuk, membuat Hilda makin memekik-mekik. Hilda jatuh di depan pintu mobil dengan tungkai terpuntir. Lutut celana denimnya koyak.
Keributan tersebut menarik perhatian sejumlah pejalan kaki. Seorang pria berkulit hitam menghentikan mereka. Tangannya menyentuh dada Simon Leman. “Ada apa ini? Kenapa dia berteriak-teriak?”
“Bukan urusanmu!” Justin mengusirnya.
Lelaki berkulit hitam itu tambah curiga. Bahasa tubuhnya tidak menunjukkan tanda-tanda terintimidasi. Dia maju selangkah lagi dan menunjuk Hilda yang masih mengebas kaki untuk melancarkan peredaran darah. “Berapa usia perempuan itu?” Di mata bangsa Eropa yang rata-rata bertubuh menjulang, rupanya Hilda tampak seperti perempuan belia.
“Sudah kubilang jangan ikut campur!” Justin ikut maju dan menatap pria itu tepat di mata. Tersisa jarak sejengkal di antara wajah mereka.
Namun, tinggi badan kedua pria berimbang. Postur si pria kulit hitam juga tak kurang mengesankan, walaupun tubuh Justin jauh lebih besar. Sweater ketat hitam yang dia kenakan memperlihatkan itu. Bahunya bidang dengan otot bertonjol di lengan atas. Dadanya seperti bekas dipompa. Pinggangnya ramping menyempit berbalut celana bergaya tentara.
Pria kulit hitam itu mengabaikan Justin. Dia menggeser kepala untuk melongok Hilda. “Miss, apa kau kenal orang-orang ini? Apa mereka menyakitimu? Apa kau sedang diculik?”
Justin mendorongnya. "Ini istriku! Kau tidak usah ikut-ikutan urusan keluarga orang!"
Si pria kulit hitam balas mendorong Justin. "Tukang main kasar kau rupanya, ya? Didik tanganmu! Kalau kau memang laki-laki sejati, kau seharusnya tahu bahwa bukan begini caranya memperlakukan istri atau siapa pun!"
“Kuperingatkan kau ....”
Pria kulit hitam itu mengebas seperti orang mengenyahkan lalat. “Miss, sepertinya kau sedang punya masalah. Kau mau kuantar ke kantor polisi saja?”
Hilda membalas tatapan si pria. Lalu melirik Justin. Lalu Simon. Lalu Camille. Lalu para pejalan kaki yang kebanyakan sudah berhenti untuk mengamati juga.
Adu mulut mereka sepertinya terdengar sampai ke dalam restoran karena Pasangan Rasheed jadi ikut keluar. Roshan sambil mengusapkan tangan ke celemek. Safeea dengan bau kencang bawang bombai.