Polisi yang datang dua orang. Pria dan wanita. Yang perempuan cantik. Yang lelaki tampan. Keduanya masih muda, ramping, dan—dalam pandangan Hilda—terlalu mulus sebagai penegak hukum. Bukannya dia bisa melihat menembus seragam dongker yang mereka pakai. Akan tetapi, kedua petugas memang begitu serasi sehingga dia menduga-duga, mungkinkah selain partner kerja, mereka juga adalah pasangan kekasih? Dalam film ada yang begitu.
“Selamat sore.” Polisi yang laki-laki melepas topi waktu mereka tiba di ruang belakang Kebab Habibti. Penutup kepalanya mirip kopiah siswa Sekolah Kedinasan. “Saya Mitch Meyer, dan ini rekan saya, Felicia Schmitz.”
Semua orang memaksakan senyum pada kedua petugas hukum.
Mitch Meyer menoleh ke Safeea Rasheed. “Jadi, mana pelaku keributan yang tadi Anda bilang?”
Safeea menunjuk Hilda. “Dia.”
Mitch Meyer berpandangan dengan rekannya.
Felicia Schmitz memastikan ulang. “Dia?”
“Iya. Itu orangnya.”
Pada saat itu, Hilda sudah tidak bersemangat lagi membela diri. Dia tidak peduli lagi berlaku cerdas membuat sikap atau ekspresi tertentu untuk mendukung klaim sebagai korban. Apa gunanya? Jelas-jelas dia kalah jumlah. Apa pun yang dia katakan akan melawan kesaksian lima warga Belgia. Jadi, Hilda duduk di sana dengan dagu terangkat. Lututnya bergerak-gerak karena gelombang kemarahan belum reda mengaliri tubuhnya.
“Baik. Bisa ceritakan kalau begitu, bagaimana tadi kejadiannya?” Mitch Meyer bertanya.
Safeea langsung kembali kepada peran sebagai juru bicara.
“Perempuan itu...,” dia menunjuk Hilda. “...berteriak-teriak, membuat risi pelanggan kami. Memalukan sekali. Sampai ada kerumunan orang terbentuk di depan restoran tadi.”
“Oh, ada pelanggan lain waktu insiden itu terjadi? Saya kira hari ini restoran kalian tidak buka?” tanya Felicia Schmitz.
“Ya, maksudku, aku berasumsi para pejalan kaki yang biasa lewat di sini pasti rata-rata adalah pelanggan kami.”
“Oh, pejalan kaki.”
“Iya. Ribut-ribut macam itu, kan, akan jadi citra buruk bagi bisnis kami. Kami mau dia mengganti rugi.”
“Ganti rugi apa?”
“Dia ini sebenarnya calon istri kawan kami, Justin.” Safeea menunjuk Justin Dumont yang balas mengangguk kepada kedua petugas berseragam. “Tapi karena dia berkelakuan seperti itu, sekarang pernikahan mereka batal. Dia akan dipulangkan setelah mengembalikan semua pengeluaran Justin.”
Mitch Meyer dan Felicia Schmitz saling melirik.
“Dan itu daftarnya, saya kira?” Mitch Meyer menunjuk kertas dan pulpen di atas meja.
“Betul. Kami semua merasa tidak nyaman lagi dengan keberadaan orang asing ini.”
Mitch dan Felicia memandang berkeliling ruangan untuk mengecek wajah semua orang. Roshan mengangguk-angguk seperti nuri. Simon meremas sekilas bahu Justin. Tatapan Camille melintasi meja dengan raut bosan, berhenti pada tumpukan kardus berisi tisu makan.
“Dan Anda berdua ... apa? Pelanggan, teman, atau saksi mata?” Felicia bertanya kepada Simon dan Camille Leman.
Pasangan suami istri itu berpandangan.
“Kami teman Justin.” Simon yang menjawab.
“Baik.” Mitch Meyer ganti menanyai Hilda. “Miss, boleh sebutkan nama dan asal Anda?”
Hilda, yang sudah lebih tenang, menyahut tanpa sikap berang. “Nama saya Hilda Widyatama. Saya warga Indonesia.”
“Boleh kami lihat bukti identitas Anda?”
Hilda menggeleng. “Dompet dan paspor saya baru saja hilang.”
Kedua polisi berpandangan. Selama beberapa menit, Felicia Schmitz menatap Hilda lekat-lekat. Hilda memutar sedikit kepalanya.
“Apakah ada yang cedera akibat insiden hari ini?”
Hilda menggeleng. Semua orang menggoyang kepala juga. Felicia Schmitz menerima jawaban itu.
“Besok libur nasional. Kantor kedutaan Anda pasti juga tidak buka. Bersediakah Anda menunggu sampai Selasa, Miss Hilda? Begitu hari kerja kembali normal, kami akan datang menjemput dan membantu Anda terhubung dengan Kedutaan Indonesia. Di mana tempat Anda menginap selama ini?”
Hilda menggeleng keras-keras. “Saya tidak mau kembali ke sana.”