Rumah Pantai

Ishmaly Hana Hamdi
Chapter #18

18. MASA ITU

Kelar menghabiskan roti lapis menjijikkan itu, Hilda menghilangkan dahaga dengan meminum air keran. Lalu, dia kembali kehabisan ide. Seandainya masih punya ponsel, dia bisa menghabiskan waktu dengan menggulir media sosial. Itu yang kebanyakan orang akan lakukan. Hilda sendiri jarang melakukannya, tetapi itu karena dia selalu memaksa diri berdisiplin, tidak memboroskan waktu dengan kegiatan tak bermanfaat. Waktu masih sering main game online, Hilda hanya masuk ke permainan saat butuh merelakskan diri.

Saat itu, Hilda merasa ingin sekali melihat video hewan-hewan manis dan lucu yang biasa ada di pelantar media sosial. Bahkan menonton iklan yang biasanya dia anggap mengganggu pun akan lebih baik daripada termangu dalam ketidakpastian yang mencekam.

Dia masih punya laptop. Namun, pergi ke kamar untuk mengambil barang itu akan seperti menyerahkan batang leher di atas nampan. Hilda tidak mau mengambil risiko. Permukaan air sedang tidak beriak. Untuk apa melakukan sesuatu yang bisa mempercepat akhir nasibnya?

Di depan TV, Justin sedang menonton sebuah film perang. Sudah ada tiga kaleng bir kosong di atas meja. Bagusnya, kali ini Justin tidak memaksa Hilda duduk bersama. Lelaki itu seolah tidak peduli lagi kepadanya.

Bukankah begitu lebih baik? Daripada ....

Ya. Mungkin model baru ini baik juga, Hilda menanggapi pikirannya. Sepelan mungkin dia bangkit berdiri dan menarik jaket yang tergantung pada sandaran kursi. Dia harus menguji teorinya. Hilda berjingkat menuju teras.

Saat dia lewat di belakang sofa, Justin menoleh sebentar, tetapi kemudian ulang memperhatikan layar kaca. Dalam hati, Hilda bersorak. Begini memang lebih baik.

Hilda ke beranda dan memadamkan penerangan di sana. Setelah mengenakan kembali jaketnya, dia bergelung di sofa bambu berbantalan kelabu. Terdengar samar-samar denting peralatan makan dari salah satu rumah di depan. Dia juga mendengar seorang pria menyuruh anjingnya meninggalkan sesuatu supaya mereka bisa terus berjalan. Selebihnya, jalanan itu lengang.

Sampai satu jam kemudian, Hilda duduk dalam keremangan. Telunjuknya mengorek-ngorek lutut celana yang koyak, sementara suhu musim dingin kian menurun seiring matahari menghilang.

 

***

 

Tak berapa lama selepas pukul sembilan malam, Justin beranjak dari sofa. Dia mampir ke dekat pintu teras. “Aku sudah mau tidur,” katanya. “Kau silakan pakai sofa saja.” Lalu Justin menuju tangga.

Sejenak, Hilda mencerna pengumuman itu. Tak tahan, dia bertanya, “Adakah bagian dari hubungan kita yang bukan merupakan dusta?”

Justin berhenti melangkah. Dia mendelik waktu menjawab, “Tadinya begitu.”

“Tadinya.” Hilda mengulangi pengakuan tersebut.

Justin melengos dan berbalik. Hilda teringat sesuatu.

“Kalau semua aset milikmu sudah disita pemerintah, rumah ini milik siapa?”

Justin diam sedetik baru menjawab. “Adikku.”

“Oh, kau punya adik? Kok aku baru tahu?”

Lihat selengkapnya