Hilda berlari tanpa berhenti. Kebisuan dan kegelapan pekat melingkupinya. Tak ada lagi deretan rumah. Tak ada juga jalanan rapi dari batu berpola. Hanya ada dia, rasa bersalah, serta sebutir bola mata yang hampir tercabut keluar. Air matanya berlinang-linang.
Dia berbelok ke kiri, melewati satu bagian blok yang sedang direnovasi. Lalu ke kanan, melintasi area dengan permukaan bata beton yang ditata membentuk wajik. Sesudahnya, Hilda mengambil arah kiri lagi tanpa berpikir. Dia berlari, terus berlari menerobos angin musim dingin, membawa pergi dirinya sejauh mungkin dari Justin.
Hilda mengerem tiba-tiba ketika sebuah mobil hampir menyambarnya dari kanan belakang. Pikiran perempuan itu begitu tersita sehingga dia tidak memperhatikan bahwa ada sepasang lampu sorot mendekat. Klakson melengking memecah malam. Umpatan kesal melayang menjauhinya. Beruntung, berkat refleks yang masih bekerja sempurna, Hilda sempat melempar diri ke tepian. Dia mendarat di semacam semak berduri tajam.
Saat Hilda bangkit kemudian, napasnya berpacu pendek dan cepat. Keringatnya mengucur deras kendati suhu saat itu seperti kulkas. Hilda memeriksa diri sendiri. Jaketnya tercabik dan punggung tangannya kotor penuh goresan. Beberapa area di wajahnya juga membuat dia meringis kesakitan. Pasti ada yang luka.
Hilda memandang berkeliling. Ternyata dia sudah tiba di jalan raya dekat perlintasan kereta. Pada jam itu, tak ada lagi yang beroperasi. Cuma pelat rel melompong, serta tiang-tiang penahan kawat baja memanjang membelah jalan sampai hilang dari pandangan. Di seberang, pohon-pohon gundul mengawasi dalam diam. Kabut bergelayut pada batang-batang mereka menjanjikan kengerian di balik setiap bayangan.
Hilda baru menyadari kesendiriannya. Selain mobil yang hampir menabraknya, belum ada lagi kendaraan melintas. Dia harus ke mana? Di kiri jalan, rumah-rumah gelap gulita. Kaca-kaca seukuran dinding yang sepanjang hari terbuka untuk memuja matahari saat itu menutup diri rapat-rapat dengan tirai tebal dan berat. Adakah yang akan membukakan pintu kalau dia mengebel atau mengetuk? Dia sendiri mungkin tidak akan melakukannya.
Pantai. Bagaimana dengan pantai? Kafe-kafe di sana seharusnya buka sepanjang malam, ‘kan?
Tapi ini musim dingin, bantah sisi otaknya yang lain. Orang gila siapa yang sudi nongkrong di pantai pada dini hari bulan Januari?
Tak ada salahnya mencoba, pikir Hilda lagi. Yang harus dia lakukan hanya menemukan jalan masuk ke kawasan pesisir. Dari posisi saat itu, Hilda tak pasti, apakah dia mesti melanjutkan langkah ke depan atau malah memutar arah?
Waktu menoleh ke belakang untuk mengecek ulang arah kedatangannya, Hilda melihat sebuah mobil parkir di tepi jalan. Lampu mobil itu menyala. Berarti, mesinnya juga. Berarti, ada seseorang di dalam sana, di jalan sunyi yang sama tempat Hilda berada. Kenapa mobil itu berhenti di situ? Karena mogok? Ataukah untuk mengamatinya?
Jantung Hilda langsung berdegup kencang. Dia mengelap air mata untuk menajamkan penglihatan, tetapi tidak berhasil menemukan petunjuk apa pun mengenai pengendara mobil mencurigakan itu. Hilda lantas memilih maju terus, ke arah yang belum terlihat ujungnya. Dia berusaha berjalan dengan kecepatan biasa, kendati melakukan itu sembari mengembuskan napas bergetar.
Sesudah beberapa meter, dia sedikit memutar badan untuk melirik. Mobil itu sedang bergulir pelan, walau lampunya sekarang dalam keadaan padam. Hilda jadi tak ragu. Ketakutannya terbukti beralasan. Dia sedang dibuntuti seseorang!
Merasa tak ada lagi gunanya berpura-pura, Hilda mengacir. Dan benar saja, makin cepat dia memelesat, mobil itu melakukan hal yang sama, meski dengan sambil menjaga jarak. Hilda tunggang-langgang dengan dada serasa meledak. Kenapa nasib sialnya belum berakhir juga? Karma buruk apa yang pernah dia lakukan? Hilda berlari sambil terisak-isak.
Deretan rumah di jalan raya itu seakan tak berkesudahan. Kubus-kubus sempurna yang hampir seluruhnya tanpa pagar ataupun tanaman penghalang. Hilda mulai merasa capai, tetapi tak punya pilihan selain mendesak otot-otot tungkainya sampai ke batas.
Di luar kelaziman, pada beberapa meter di depan, Hilda melihat bahwa salah satu rumah punya perdu setinggi manusia dewasa. Perdu itu memanjang sesuai lebar rumah yang bersangkutan. Semangat Hilda bangkit lagi. Apakah itu berarti ada jalan lain di sebelah sana? Mungkin semacam lorong tembus ke kompleks perumahan? Akankah dia menemukan jalan pintas untuk mengecoh penguntitnya?
Hilda berderap dan berbelok tiba-tiba begitu perdu hijau tua itu berakhir. Akan tetapi, dia meraung frustrasi melihat apa yang kemudian ditemukannya. Jalan itu ternyata tidak mengarah ke mana pun juga! Buntu. Berujung dengan sebaris tembok putih saja. Ada mobil si pemilik rumah terparkir di sana.
Hilda membungkuk memegangi lutut, tersengal-sengal meratap, menangisi diri sendiri. Tak jauh di belakangnya, dia mendengar roda mobil itu menggilas sesuatu. Sepasang lampu sorot memerangkapnya dalam cahaya. Hilda berbalik menantang silau dan berteriak dengan wajah bersimbah air mata, “Apa yang kau mau!?”