Heru dan Hilda mengobrol sampai hampir dua jam. Mereka membicarakan masa lalu serta apa saja yang terlintas di pikiran di sepanjang panggilan video itu.
Hilda sempat melihat Mitch turun dan membeli beberapa barang dari mesin. Waktu Mitch melintas untuk kembali menaiki tangga, dia tersenyum ke arah Hilda. Dalam pelukan polisi muda itu, ada sejumlah bungkusan dan dua botol minuman. Hilda terkikik melihat Mitch repot sendiri dengan semua camilan tersebut.
Pada sekitar pukul lima, Felicia mengecek keberadaan Hilda dari koridor lantai atas. Dia mengangguk puas melihat Hilda masih di sana, di lobi utama seluas lapangan badminton, sibuk melakukan video call.
Tak terasa, pukul enam bergerak mendekat.
“Sebentar lagi loket buka. Sebaiknya aku ke atas untuk mengingatkan Mitch dan Felicia mengantarku ke stasiun kereta,” kata Hilda.
“Cek dulu balasan dari Tante Tamara.”
“Belum ada. Dia masih belum online.” Hilda mengeklik jendela lain yang menampilkan isi kotak suratnya. “Di e-mail juga belum ada. Mungkin masih tidur.”
“Pukul berapa piket dua polisi itu berakhir?”
“Tidak tahu.”
“Kalau sampai Tante Tamara belum memberi alamat waktu mereka sudah harus pergi, siapa yang akan mengantar Kakak ke stasiun? Sebaiknya Kakak bertanya.”
Hilda mengangguk setuju. “Kumatikan dulu koneksinya berarti, ya? Akan kukabari lagi begitu ada perkembangan.”
“Aku tidur sebentar kalau begitu.”
Hilda pun menutup laptop dan membawanya kembali ke atas, ke ruang kerja Felicia Schmitz dan Mitch Meyer.
Hilda menemukan kedua petugas sedang membaca. Mitch dengan dua kaki menumpang di kursi yang dia tarik dari meja terdekat. Felicia membungkuk dengan wajah serius di depan mejanya sendiri. Di hadapan Felicia ada gelas kertas berisi kopi serta sepaket biskuit vanila yang sudah habis sepertiga. Sebaliknya, meja Mitch dipenuhi bungkusan keripik, plastik bergambar butiran cokelat, serta sebotol minuman energi. Botol kosong satu lagi ada dalam keranjang sampah rekannya.
Felicia mengangkat muka.
“Kau sudah mau pakai telepon sekarang?”
“Ya, kalau bisa.”
“Tentu bisa. Pakailah.” Felicia menggeser sedikit kursinya untuk memberi Hilda ruang.
Hilda merapal nomor telepon si ketua diaspora, kemudian mencoba. Nada panggil berbunyi tiga kali sebelum Hilda akhirnya mendengar suara seorang perempuan bervokal berat. “Halo?”
“Tante Tamara? Ini saya, Hilda, yang waktu itu mengirim pesan minta bantuan.”
“Oh! Hilda! Bagaimana kabarmu, Sayang? Kau di mana sekarang?” Tante Tamara berbicara dengan dialek yang samar-samar Hilda tebak berasal dari Indonesia Timur. Belum apa-apa, hati perempuan itu menghangat mendengar seseorang berbicara dalam bahasa negerinya, sementara dia masih dikelilingi segala sesuatu yang berbau Belgia.