Ketika Sherly Garcia tiba pada pukul sepuluh, Hilda Widyatama sudah mengitari hampir seluruh sisi dalam maupun luar bangunan stasiun itu. Setelah menyadari bahwa pakaian berlapisnya tidak berhasil menghalau dingin selama dia hanya berdiam di dalam gedung, Hilda pergi ke halaman dan membiarkan diri terjemur matahari yang mulai meninggi.
Hilda langsung bisa menebak bahwa Sherly Garcia adalah Sherly Garcia karena rupa gadis itu sangat sesuai dengan namanya. Sherly berusia paling tinggi akhir dua puluhan, memiliki rambut sepunggung hitam, lurus, dan berkilau. Wajahnya memperlihatkan jejak keturunan Tionghoa. Hilda tahu dugaannya tepat begitu melihat perempuan muda itu celingak-celinguk ke segala arah di balik pintu kaca putar Stasiun Knokke.
Hilda bangkit dari bangku taman yang dia duduki. Merasa sedikit sayang harus meninggalkan tempat duduk dari semen bertegel mozaik yang ditata menjadi gambar-gambar artistik itu. Bangku yang tadi berpola bunga matahari kuning dengan latar putih. Di tempat lain, Hilda melihat bangku biru dengan keping-keping ubin membentuk karang laut oranye dan merah jambu. Bahkan, Hilda sempat melihat bangku yang mozaiknya seperti pemandangan kota metropolitan penuh deretan gedung bertingkat.
Mata Sherly Garcia menangkap penampakan Hilda. Gadis berkulit putih itu keluar ke halaman dan menyapa, “Hilda, ya?”
Setengah jam kemudian, mereka sudah memperoleh tiket jalan menuju Brussel. Hilda dan Sherly menunggu jam keberangkatan sambil duduk dalam kafe yang sesungguhnya, menyesap Macchiato hangat dan telur orak-arik yang masih mengepulkan uap. Baju, sepatu, serta semua barang milik Hilda yang dia tinggalkan dalam kantong sampah di lantai dua telah mereka jemput dan tata ke dalam koper besar yang Sherly bawa.
***
Tante Tamara Sepimawa rupanya memang berasal dari bagian timur Indonesia. Tepat seperti dugaan Hilda. Persisnya, dia berasal dari Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Suaminya ternyata salah seorang staf penting Kedutaan Indonesia di Brussel, Belgia. Mereka pemegang paspor hitam diplomat dan telah dua tahun terakhir itu menetap di sana.
Kebetulan sekali. Hilda merasa seakan-akan dirinya adalah karakter film.
Seperti janji Tante Tamara, begitu Hilda tiba di kediaman Keluarga Sepimawa di Uccle, Brussel, sebuah kamar sudah tersedia untuknya. Meskipun itu bilik terkecil di sana, bilik tamu itu menjadi kejutan menyenangkan tambahan karena letaknya tepat di bawah kemiringan atap. Hilda hanya pernah melihat kamar loteng semacam itu di layar kaca.
Sherly Garcia tinggal dan mengobrol sampai malam karena dipaksa bergabung dengan acara dinner penyambutan Hilda. Sebenarnya, Sherly diajak menginap juga. Namun, dia menolak dengan alasan punya pertemuan daring dengan klien di pagi berikutnya. Sherly Garcia tampak sudah akrab dengan semua penghuni di situ. Sesudah makan malam, Sherly sempat memainkan piano bersama salah seorang anak Tante Tamara.
Keluarga Sepimawa mempunyai tiga gadis remaja. Ketiganya jago bermain musik dan merupakan aktivis gereja. Selama sekian hari Hilda menginap di sana, dia kemudian menjadi terbiasa melihat anggota Keluarga Sepimawa bergantian memimpin doa sebelum makan, atau berkumpul di ruang keluarga sambil memainkan piano dan gitar, menyanyikan lagu-lagu pujian.