Rumah Pantai

Ishmaly Hana Hamdi
Chapter #25

25. MASA KINI

Pada Februari 2023, Hilda Widyatama telah kembali menginjakkan kaki di tanah air, Indonesia. Begitu taksi online berhenti di depan rumah mereka, Hilda tidak langsung turun. Tangannya, yang sudah menyentuh tuas, urung membuka pintu. Hilda mereguk dulu pemandangan yang terlihat di balik kaca mobil itu.

Aspal kotor dan got sempit dengan rerumputan liar mencuat di tepi-tepinya. Beberapa bungkus penganan ringan tergeletak di sana. Sebuah upaya gagal untuk membuang kemasan plastik itu ke selokan. Gundukan polisi tidur setiap beberapa meter sekali. Anak-anak bermain mengenakan pakaian berwarna pudar dan berhias noda. Ibu-ibu muda mendorong balita mereka dalam sepeda beroda empat dari plastik murahan.

Rumah-rumah di kompleks itu berdesain tidak seragam. Banyak yang masih menggunakan atap seng. Sebagian berwarna norak, dicat menggunakan pewarna dinding termurah yang ada di pasaran. Letaknya juga terlalu berimpitan, memastikan semua orang akan selalu tahu urusan semua orang. Seperti yang keluarga mereka alami bertahun lalu dan bertahun-tahun sesudah itu.

Ini bukan hamparan rumput berbunga Bois de La Cambre atau kawasan Gerbang Lengkung Cinquantenaire yang dapat dengan mudah membuat jiwa seni pelukis meronta-ronta. Kompleks mereka juga bukan area perumahan elite dengan deretan bangunan Art Deco serta jalanan dari bebatuan rapi seperti yang Hilda lihat di Belgia. Kendati demikian, semua kesederhanaan tersebut menggugah perasaan hangat yang, baginya, hanya bisa dia artikan sebagai satu hal. Rumah.

Hilda turun dan tersenyum kepada para tetangga yang menyaksikan kepulangannya. Beberapa orang menyapa. Hilda membalas dengan keramahan yang tidak dibuat-buat. Tak ada perasaan malu karena dia batal jadi istri pria asing atau gagal jadi orang “di luar”. Hilda benar-benar lega dia akhirnya bisa pulang.

 

***

 

Sehabis makan malam, Hilda tinggal dalam diam bersama Heru di meja dengan lampu DIY yang menggantung terlampau dekat ke kepala. Kalau biasanya mereka tak pernah kehabisan bahan obrolan dan bisa memperbincangkan apa saja, pada kali tersebut, kedua adik-beradik mengunyah tanpa suara, hanya menikmati kebersamaan mereka tanpa membahas ulang segala yang terjadi pada Hilda di Belgia.

Malam itu, Hilda tidur memeluk ibu mereka di kamar yang dulu merupakan kamarnya sendiri.

“Mama, Hilda balik, Ma.” Dia berbisik seraya merapikan rambut berantakan mamanya menggunakan sisir plastik yang ompong di beberapa tempat. Ada samar-samar aroma pesing permanen di kamar itu, tetapi Hilda tidak memedulikannya.

Entah kebetulan atau bukan, sepanjang malam itu, si ibu juga lebih tenang. Dia hanya satu kali mengerang panjang pada dini hari pukul dua, membuat Hilda terbangun, kemudian membantu ibunya membersihkan diri dan mengganti celana popok. Sesudah itu, Hilda meninabobokkan sang ibunda dengan mengelus-elus wajah dan rambut beliau.

Setelah kembali menempati kamarnya, Hilda masih sesekali mengalami mimpi buruk. Mimpi-mimpinya kini menyangkut bunyi derak mengerikan, percikan darah, ditambah sepasang bola mata yang mengiba. Lalu, dia akan terbangun dengan napas tersengal seperti peserta maraton sehabis lomba. Nyalang dan ketakutan, jantung Hilda Widyatama berdentam-dentam karena merasa dikejar seseorang.

Dalam bulan Mei 2023, seorang kawan mengajak Hilda bergabung dengan sebuah Lembaga Bantuan Hukum yang berfokus pada kasus-kasus kekerasan dalam keluarga. Dua setengah bulan kemudian, dia direkrut sebuah kantor pengacara. Istri pimpinan firma itu adalah psikolog sekaligus aktivis kesetaraan wanita dan anak yang pernah bekerja sama dengan LBH mereka. Hilda beberapa kali berkonsultasi pribadi mengenai trauma dan gangguan tidurnya.

Heru, sementara itu, telah menyelesaikan pendidikan Bintara di Sekolah Polisi Negara. Heru mengambil jalur tersebut karena mengira bahwa dia akan menjadi satu-satunya anak yang bertanggung jawab atas perawatan ibu mereka. Setelah kepulangan kembali Hilda ke Indonesia, mereka mensyukuri pilihan Heru tersebut sebagai kesempatan kedua untuk lebih mudah menghabiskan waktu bersama.

Sembilan kemudian, Hilda Widyatama sudah menjajal game online baru tanpa rasa mual karena teringat Justin Dumont ataupun pengguna dengan nama JD36.

 

***

 

Akhir 2023, Hilda sedang di ruang lemari besi kantor ketika Heru menelepon. Hilda waktu itu hendak membuat salinan berkas klien untuk dibagikan kepada tim pengacara. Mereka harus menyiapkan diri untuk jadwal sidang yang akan segera datang.

Hilda menerima panggilan tersebut dengan kening berkerut. Heru tidak biasanya menelepon pada jam kerja. Kalau perlu apa-apa, Heru akan mengirim pesan saja. Perasaannya tidak enak. Apakah ada sesuatu terjadi di rumah atau pada ibu mereka?

Ternyata, tingkah di luar kebiasaan tersebut rupanya memang untuk menyampaikan sebuah kabar yang tak kalah ganjil.

“Kak, waktu di Belgia, apa Kakak punya masalah lain, di samping masalah dengan Justin?”

Raut Hilda langsung masam. Dia tidak sudi mendengar nama itu disebut lagi.

“Hah? Masalah apa, Her? Tidak ada masalah. Kok, tumben pertanyaanmu begini?”

“Maaf, Kak.” Heru yang paham luar dalam saudara satu-satunya itu langsung menangkap nada ketus pada pertanyaan balasan Hilda.

“Kan, sesudah aku lari dari sana, aku tinggal di rumah staf kedutaan sampai hari keberangkatan. Mana sempat aku bikin masalah? Untuk apa juga?” Hilda membantah dengan suara rendah, walaupun di ruangan itu tak ada orang selain dia. Hanya Pak Bos dan istrinya yang tahu pengalaman buruk Hilda di Belgia. Hilda ingin sesedikit mungkin pihak yang tahu tentang lembaran hidupnya itu.

“Iya, iya. Aku percaya. Aneh saja. Tadi ada orang dari Mabes Polri datang mencariku. Mereka minta dihubungkan dengan Kakak.”

“Orang Mabes Polri?” Hilda langsung berdebar-debar.

Heru ragu-ragu sejenak waktu menyampaikan kabar berikutnya. “Iya. Kakak diminta ke Bareskrim di Kebayoran Baru, hari Kamis. Ada sesuatu menyangkut kasus pembunuhan di Belgia.”

“Pembunuhan!?” Hilda mulas. Bibirnya memucat. “Pembunuhan siapa? Ya, Tuhan!”

Heru menggumam. “Aku juga belum begitu paham. Nanti kita bicarakan lagi di rumah.”

Hilda mengiyakan, tetapi walhasil, sehabis pembicaraan itu, dia tak bisa lagi berkonsentrasi kerja. Dia hanya mengeluarkan setumpuk berkas yang tim pembela hukum mereka butuhkan, kemudian mengoperkannya kepada seorang rekan.

“Mik, bisa kau yang bikinkan foto copy dokumen-dokumen ini? Habis itu, tolong bawakan ke ruang rapat. Aku sakit perut.”

Hilda lalu ke toilet, mengurung diri di sana, memeluk badan untuk mengatur napas.

 

***

 

Kedatangan Hilda ke lantai lima Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia disambut pria yang mengenakan seragam dengan tiga bunga.

“Terima kasih sudah bersedia hadir, Bu Hilda.” Pria itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangan. Kalaupun si polisi merasakan betapa dinginnya jemari dan telapak tangan Hilda, dia tidak menampakkannya.

Hilda mengangguk. Nanar. Napasnya sesak sejak sebelum dia tiba di gerbang kantor itu. Hilda bahkan sudah gemetar selama lift membawanya naik ke ruang pemeriksaan.

Saat dia akhirnya masuk ke ruangan berisi empat meja tersebut, Hilda telah menyerupai daun yang sedang melayang gugur. Lunglai. Tanpa tenaga. Hilda masih tak percaya bahwa dia akan pernah berada dalam posisi sebagai objek pemeriksaan pihak berwajib. Saat dompetnya hilang, dia berlaku sebagai pelapor.

Setelah semua orang duduk, pria tadi memperkenalkan diri. “Bu Hilda, saya Kombes Hidayat Syarifullah. Dan ini AKP Yudha Hermawan dan Brigadir Rivo Simanjuntak.” Pria itu menunjuk dua petugas lain yang ada di sana.

Hilda kurang paham urutan jabatan polisi. Meskipun demikian, dia ingat bahwa makin “berbintang dan berbunga” lambang di seragam, berarti main tinggi jabatan pemakainya. Di ruangan tersebut, hanya pria pertama itu yang punya lambang bunga di ujung kerah. Kerah seragam pria kedua bergambar tiga persegi panjang kuning.

Balok, Hilda memberitahu dirinya sendiri. Orang-orang biasa menyebut itu “balok”.

Pria terakhir, yang tampak siap sedia di depan komputer, hanya punya semacam anak panah berwarna putih.

Hilda mengangguk.

“Apa kabar Bu Hilda hari ini? Sehat?”

Hilda menunduk menatap jarinya yang gemetar. Begini rupanya pertanyaan pembuka interogasi polisi? Basa-basi sekali.

“Sehat, Pak.” Dia membisikkan jawabannya.

Kombes Hidayat tersenyum lagi. Hilda justru mulas, tidak ingin pria itu memperpanjang acara ramah-tamah mereka. Hilda hanya ingin penyiksaannya lekas berakhir agar dia bisa pulang, meringkuk di tempat tidur ibunya dalam kamar berbau pesing.

Lihat selengkapnya