AKP Yudha Hermawan dan Brigadir Rivo Simanjuntak bangkit dan berkemas.
“Terima kasih atas kerja sama Bu Hilda hari ini. Kita sampai di situ dulu. Pukul tiga pemeriksaannya kita lanjutkan lagi. Sekarang, Bu Hilda silakan makan siang. Tapi, saya dan tim akan makan siang di tempat kami. Bu Hilda silakan makan di tempat pillihan Bu Hilda sendiri. Atau, Bu Hilda mau ikut makan bersama kami saja biar pemeriksaannya bisa kita lanjutkan sambil makan?” Kombes Hidayat Syarifullah bercanda saat menghentikan Berita Acara Pemeriksaan.
Hilda menatap datar wajah penuh senyum si perwira tinggi. Pengalaman hari itu terlalu traumatis untuknya. Siapa yang bisa makan atau bercanda dalam keadaan demikian?
“Saya permisi saja, Pak.”
“Sampai jumpa lagi, Bu Hilda.” Kombes Hidayat tersenyum ramah.
Tidak lucu!
Heru menemuinya di halaman parkir. Dia terkejut melihat Hilda keluar dengan wajah kuyu dan langkah gontai. Tanpa bertanya, Heru memeluk bahu kakaknya. Berdua, mereka kemudian berjalan ke arah kanan, menyusuri pagar cokelat yang mengelilingi Markas Besar Polisi Republik Indonesia.
Sesudah beberapa meter, Heru dan Hilda membelok ke Jalan Raden Patah yang penuh pohon perindang dan pedagang kaki lima. Mereka masuk ke tenda penjual soto dan memesan. Kombes Hidayat rupanya cukup baik hati menghentikan pemeriksaan sebelum jam makan siang benar-benar tiba. Kalau tidak, Heru dan Hilda akan perlu mengantre sebelum mendapat tempat.
Begitu duduk, Hilda menunduk di depan meja sempit tempat sendok, botol kecap, mangkuk irisan jeruk nipis, serta stoples sambal berada. Matanya terpejam. Perutnya masih tak nyaman. Tungkainya pun masih gemetar. Hilda tak tahan. Dia tidak bisa menunggu sampai seluruh pemeriksaan selesai dan mereka tiba di rumah.
“Justin ternyata pembunuh, Her.” Hilda membisikkan ceritanya.
Heru menoleh. Terperangah.
“Dia membunuh seorang perawat, mantan pacarnya sesudah aku. Sadis sekali, Her. Perempuan itu ditusuk dua ratus kali pakai pecahan kaca!” Hilda menutup wajah dengan tangan. “Dia pasti meninggal dalam keadaan tersiksa! Ya Tuhan, itu cara mati yang mengerikan!”
Heru terpana. Saat penjual soto mengantarkan pesanan mereka, Heru memeras jeruk tanpa melihat dan menyendok sambal tanpa mengira-ngira. Seketika, dia memperlakukan acara makan siang itu sebagai kewajiban dadakan saja.
Sepuluh menit kemudian, soto dan kuah dalam mangkuk Heru makin tandas, sementara isi mangkuk Hilda masih utuh, hanya bawang gorengnya yang makin layu.
Hilda sejujurnya lemas. Dia lemas karena memang lapar—pemeriksaan itu berlangsung berjam-jam. Hilda juga lemas karena, untuk pertama kalinya, dia menjadi tersangka perbuatan kriminal.
Yang terburuk, Hilda baru menyadari bahwa dia sudah sangat nyaris menjadi korban pembunuhan. Kalau saja dia waktu itu tidak melarikan diri, wajahnya yang akan ada dalam lembaran foto di ruang BAP, dan Heru yang akan duduk di kursi pemeriksaan, diminta mengenali perempuan bergelimang darah dalam gambar. Walaupun di Belgia dia sempat pasrah bahwa nasibnya akan berakhir di tangan emosional Justin, Hilda tidak menyangka bahwa laki-laki yang nyaris menjadi suaminya itu memang sanggup menghilangkan nyawa seseorang.
Antrean orang lapar mulai memanjang di luar tenda. Perut-perut keroncongan membaui soto yang mengepul dalam dandang raksasa. Banyak yang kehilangan kesabaran menunggu giliran. Seorang pria secara sengaja berkelakar dalam suara keras mengenai lamanya waktu yang dihabiskan seseorang untuk makan.
Dua perempuan menyindir Hilda tanpa tedeng aling-aling. “Mbak, kalau tidak mau makan, sebaiknya keluar saja. Ini yang mau makan banyak. Punya pekerjaan atau tidak? Pengangguran, ya?”
Hilda menoleh memandang mereka dengan raut memelas. Hari itu, dia bukan Hilda yang biasa. Hari itu, dia tidak berselera menyerang balik dengan celetukan yang tak kalah pedas.
“Aku keluar saja, Her. Kutunggu di depan.”
Heru, yang baru menyendokkan sesuap kuah ke mulut, membuat kode, meminta Hilda menunggu sebentar. Heru menelan suapan terakhirnya secara terburu-buru, kemudian menandaskan air minum. Dia lalu bangkit untuk membayar.
Kedua perempuan berpenampilan karyawan kantor itu menjeling sengit saat kedua adik-beradik lewat. Hilda berjalan sambil menunduk demi menghindari kontak mata. Terlebih saat dia melihat bahwa wajah si penjual soto pun jadi tak senang begitu mendapati masakannya tidak tersentuh dalam mangkuk Hilda.
“Kakak bagaimanapun harus makan. Langsung kunyah-kunyah saja dan telan. Tidak usah terlalu dipikirkan enak atau tidaknya. Mau mi ayam?” Heru menunjuk tenda di sebelah tenda penjual soto.
Hilda menggeleng.
“Bakso?”
Sebuah gelengan lagi.
“Ketoprak?”
Hilda memberinya tatapan sebal.