Pulang dari menjalani BAP, Hilda bergelung di kursi tamu di balik jendela depan rumah mereka. Di bangku yang sama itu dia dulu sedang duduk ketika ayah mereka kemudian melakukan penganiayaan terakhirnya.
Perut Hilda keroncongan. Kendati demikian, sampai jarum jam bergeser makin dekat ke pukul delapan, dia tetap tidak berselera makan. Padahal, Heru sudah membelikan tahu isi dari penjual langganannya.
Pukul delapan lewat sepuluh menit, Heru keluar dari kamar membawa piring kosong. Dia baru saja menyuapi ibu mereka bubur super halus yang dimasak dengan ayam dan sayur. Dengan makanan semacam itulah sang ibu bertahan hidup bertahun-tahun. Dia membuka mulut saat diminta dan menelan tanpa menunggu perintah. Instingtif begitu saja.
Heru melihat seplastik tahu isi kakaknya mulai tampak menyedihkan—teronggok tanpa ada yang memperebutkan. Dia menegur. “Kak, apa Kakak perlu kusuapi juga kayak Mama?”
Hilda meminta maaf, kemudian meraih sepotong tahu dan memaksa diri mengunyah. Dia bukan ayahnya. Dia tidak mau berkelakuan seperti ayahnya.
Heru menarik napas panjang dan mendesah.
“Habis itu sebaiknya Kakak mandi air hangat, lalu istirahat. Jangan buka media sosial. Jangan mengobrol dengan siapa-siapa. Langsung tidur saja.”
“Aku tidak tahu akan bisa tidur atau tidak, Her.”
“Karena itulah kusarankan mandi air hangat. Itu akan membuat Kakak rileks dan mengantuk.”
Hilda menuruti saran adiknya. Sesudah menghabiskan sepotong tahu itu, dia pergi mandi. Selama hampir tiga puluh menit kemudian, Hilda membiarkan air hangat mengguyur badannya. Kemudian bersama setiap aliran yang menghilang ke saluran pembuangan, dia membayangkan semua ketakutannya ikut hanyut juga.
Selesai mandi, Hilda mengeringkan diri, mengoleskan pelembab pada wajah, tangan, dan kaki, kemudian naik ke ranjang. Dan ternyata, Heru benar. Hilda memang berhasil tidur. Selama empat jam.
***
Tengah malam, matanya mendadak nyalang ke langit-langit kamar. Napasnya yang pendek dan cepat terdengar lantang dalam kegelapan.
Mata mengiba itu ada di setiap semak yang baru saja dia lewati sewaktu berlari. Bahkan, semua semak itu kini penuh cipratan darah, dan jalanan itu basah, tetapi bukan karena air hujan, melainkan oleh cairan berwarna merah.
Hilda menunggu debaran jantungnya mereda, kemudian meraih jam tangan dari meja di samping ranjang. Lampu oranye menyala. Baru pukul satu. Bisakah dia kembali tidur hanya dengan memejamkan ulang mata?
Tidak. Hilda memutuskan. Dia tidak berani melakukannya. Siapa yang bisa memastikan dia tidak akan memimpikan barang yang sama lagi?
Hilda mengembalikan arloji ke meja dan ganti meraih ponsel. Dia teringat Lena Ranst yang terbaring dalam genangan darah. Beberapa utas rambut perempuan itu lengket ke wajah.
Lengket. Seperti cairan tubuh Justin yang dia tumpahkan ke sekujur badan Hilda sewaktu mereka masih bersama. Bibir Hilda berkerut. Jijik dengan ingatan itu.
Dia membuka mesin peramban dan mengetikkan: Lena Ranst Belgia. Muncul sejumlah artikel.
BELGIA GEMPAR: PEKERJA MEDIS DITEMUKAN TEWAS AKIBAT 200 TUSUKAN
PERAWAT DIBUNUH DI KNOKKE-HEIST. TERSANGKA DIDUGA MANTAN ORANG DEKAT
KEMATIAN SUSTER LENA MENGGUNCANG INSTANSI KESEHATAN: “DIA KESAYANGAN SEMUA ORANG”
PENGAKUAN SAHABAT PERAWAT YANG JADI KORBAN PEMBUNUHAN: ADA SESEORANG YANG SELALU MEMBUNTUTI LENA
Dari keempat berita online, satu artikel menggunakan foto pemandangan pantai disorot dari bukit pasir dengan rerumputan tinggi melambai. Artikel lain memperlihatkan polisi dan petugas forensik memasuki bangunan berwarna cokelat. Dua artikel terakhir menampilkan Lena Ranst tersenyum lebar dengan wajah gembira.
Hilda memperhatikan raut si perawat. Dalam kedua foto, Lena terlihat “sehat”. Semasa hidup, dia ternyata berkulit putih kemerahan. Ada rona alami sewarna jambu pada pipi perempuan itu.