Guntur Arjunawan Ingin Sekolah Lagi
Suara lonceng berbunyi terdengar sangat nyaring. Di dusun itu masih dengan sulitnya mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat, bel pun menjadi penghalang. Sekolah swasta hasil binaan kepala dusun dan beberapa warga yang memiliki ekonomi lumayan, membangun tempat belajar di dusun tersebut. Ada pun sekolah negeri, sangat jauh dari kampung mereka.
"Bu, apa aku masih bisa sekolah? Teman-temanku pada pinter semua," ucap Guntur lirih. Berharap ibunya memahami ucapan dan harapan anaknya.
"Guntur ... kalau kamu sekolah, siapa yang bantu ibu? Kita orang susah, Nak. Nggak seperti mereka bisa bermain dan bersekolah," sahut ibunya, sembari menjemur pakaian milik keluarga pak kadus. Banyak juga yang menggunakan jasanya. Semua dikerjakan, asal halal dan menghasilkan uang. Juga bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Guntur sibuk menyusun barang-barang bekas ke dalam karung besar. Ada botol air mineral, barang berbahan aluminium, seperti: panci, kuali, dan lainnya. Pokoknya mana yang bisa dijadikan rupiah, ya, dikerjakan tanpa ada rasa malu dan gengsi.
"Tapi, Bu ... nggak ada salahnya kan, kalau aku sekolah. Lagian aku bisa bayar uang sekolah sendiri dengan menjual butut," rayunya agar ibunya mengabulkan permintaan.
"Udah, udah. Yuk, kita ke rumah pak kadus. Katanya ada piring yang mau dibersihin. Kan lumayan untuk tambahan buat berobat adikmu," sahut ibunya.
Guntur menyelesaikan tugasnya dengan cepat, agar bisa membantu ibunya. Jika tidak, menebus obat adiknya pakai apa? Sudah dua minggu Narnia sakit. Badannya panas, kaki dingin seperti orang tidak bernyawa. Obat yang digunakan hanya menggunakan obat yang dijual di warung. Mau berobat ke dokter, takut diberi pertanyaan beruntun dan biayanya mahal. Ibunya tidak pernah mengenyam bangku sekolahan, merasa takut bila bertemu dengan orang-orang dalam suasana perkantoran.
Di rumah pak kadus, banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan. Guntur begitu rajin dan tidak mengeluh sedikit pun pada tugas yang diberikan. Malah senang karena bisa membantu ibunya.
Bocah sulung itu terus berpikir, bagaimana caranya bisa kembali duduk di bangku sekolah yang sudah berhenti di kelas dua SD, sejak ayahnya meninggal. Namun, tidak pernah dirinya merasa putus asa dengan impiannya kelak.
"Guntur, Guntur, Guntur, Guntur, Guntur," panggil anak-anak sebayanya sepulang sekolah.
Menyebutkan namanya dengan niat mengejek kalau Guntur bukan anak sekolahan seperti mereka. Bocah itu sedang menyapu halaman rumah pak kadus karena terlihat kotor. Sebentar lagi para tamu akan segera hadir.
"Guntur! Kapan kau sekolah, woy! Lama-lama kau jadi orang paling bodoh di kampung ini. Ha-ha-ha," ejek salah satu dari teman sebayanya, lalu menertawakan bersama-sama.