RUMAH REOT (Cita-cita dalam angan)

Sri Wahyuni Nababan
Chapter #2

Derita Tiada Henti

Ibunya membuka pintu untuk memastikan siapa yang datang. Sorot mata wanita yang dipanggil ibu oleh Guntur menatap tajam. Ferdi dengan lantangnya menyuruh ibunya Guntur untuk meminjamkan uang pada pak kadus. Biasanya digunakan bermain judi di kampung sebelah.


Jelas saja ibunya Guntur menolak dan mengusir duda memiliki tiga anak. Istrinya terdahulu minta dicerai karena sering diperlakukan kasar. Wanita mana yang tahan selalu dipukuli dan dipaksa bekerja. Sementara dia hanya enak-enakan berkumpul dengan komplotan judi.


"Hartina, Sayang. Kamu wanita tercantik di kampung ini. Kau tahu sendiri kan, sejak remaja aku telah menyukaimu. Hanya saja suamimu deluan datang melamar. Ya, lagian dia anak orang lumayan dibanding aku dari kampung sebelah. Hasil kebunnya bisa membawamu ke kota dan belanja apa pun yang diinginkan," rayunya.


"Fer, ini udah malam. Mungkin kau butuh istirahat dan menenangkan pikiran. Nggak baik jam segini ke rumah seorang janda, pulanglah. Takut menimbulkan fitnah," pinta ibunya dengan menaruh benci.


"Fitnah? Kalau pun itu terjadi, bagus, dong. Kita bisa menikah dan pergi dari kampung yang tidak berguna ini," cercanya, padahal dirinya yang tidak berguna. Banyak yang mengatakan kalau Ferdi sampah masyarakat. Hanya saja ucapan itu tidak pernah sampai ke telinganya.


"Om! Bisa nggak, sih, menghargai ibuku? Seharusnya punya etika. Bukan kaya orang tolol!" marah Guntur, dengan wajah kesal.


"Huss! Jangan begitu, ke kamar sana. Biar ibu yang bereskan." Ibunya tidak ingin terjadi sesuatu pada anaknya nanti.


"Ok, aku pulang. Tapi, besok jam sembilan pagi uangnya harus sudah ada di tanganku. Nggak banyak, kok. Cuma tiga ratus ribu aja. Kutunggu! Awas kalau enggak ada. Berabe hidup kalian!" ancamnya, sembari menunjuk ke wajah ibunya Guntur.


"Tiga ratus ribu kau bilang cuma?! Pakai otak kalau ngomong!" cela ibunya Guntur.


"Aku nggak mau tau! Kutunggu sampai besok! Hah!" Ferdi menghempaskan tangan kanannya, dengan arti harus ada apa yang diinginkan.


Guntur menitikkan air mata saat mendengarkan ancaman untuk ibunya. Bocah kecil itu berpikiran, kenapa ini harus terjadi pada mereka? Untuk makan saja, mereka kesulitan, malah dibebankan meminjamkan uang pada pak kadus.


Ibunya juga terduduk lemas di lantai. Sambil menahan pilu, teringat pada almarhum suaminya dan mengatakan dalam hati, kenapa begitu cepat meninggalkan mereka. Seandainya masih hidup, pasti tidak akan mengalami hal seperti ini.


Guntur memandangi sosok ibunya dari kain tirai tipis yang sudah lapuk. Anak kecil itu sungguh tidak pernah membayangkan hidup mereka penuh dengan ancaman. Berlahan air matanya diseka dengan baju lusuh yang dikenakan. Berulangkali diseka, tetapi butiran air tidak belum juga berhenti mengiringi kepedihannya.


Malam semakin larut, mereka juga sudah terlelap dengan mimpi masa depan yang lebih baik.


***


Terdengar suara azan berkumandang dari musola yang jaraknya sekitar dua puluh meter. Seperti biasa, Guntur sudah bangun untuk melaksanakan salat Subuh. Pun dengan ibunya akan memulai kesibukannya sebagai ibu rumah tangga.


"Assalamualaikum warahmatullah ...," ucap Guntur pada salam terakhir.


"Narnia ... Rimba ... bangun, Nak. Udah siang. Mandi sana biar ibu cuci baju kalian."


Kedua bocah membuka mata, lalu bergegas ke kamar mandi belakang rumah. Dinding yang hanya diberi pembatas terpal plastik bekas milik tetangga.


Ibu mereka sudah merendam pakaian dalam ember sejak tadi. Sembari menggoreng nasi, wanita yang memiliki tiga anak memikirkan untuk meminjamkan uang untuk Ferdi. Belum pernah dia lakukan sebelumnya. Apalagi harus mengutangkan untuk orang yang penuh dengan janji palsu.

Lihat selengkapnya