"Ini dari mana, Bu? Ibu nggak nyuri kan?" Guntur belum percaya sepenuhnya.
"Ya, enggaklah. Masa Ibu mencuri? Apa wajah Ibu seperti pencuri?" Ibunya mulai gelisah. "Atau jangan-jangan ... ini jebakan, Gun?"
"Ibu yakin nggak nyuri? Kali aja khilaf, Bu," tegur Guntur untuk menyelidiki.
Ibunya terus memandangi lembaran uang kertas berwarna merah dalam satu ikatan. Tidak tahu berapa jumlahnya, sebab tidak terniat di hatinya untuk menghitung uang tersebut. Karena merasa bukan miliknya.
Ibunya kembali ke rumah pak kadus dan menanyakan benda tersebut. Guntur dan kedua adiknya tetap tinggal di rumah. Meski Rimba masih berusia lima tahun, tetapi tidak terlalu manja dengan ibunya. Ke mana pun ini mereka, tidak pernah minta ikut.
Tujuh menit sudah sampai di rumah yang dituju. Pak kadus yang sibuk dengan ponselnya menanyakan alasan kedatangan Hartina.
"Pak, saya mau ketemu sama ibu."
"Masuklah, paling juga di dapur."
Hartina atau ibunya Guntur masuk dan menemui bu kadus setelah memberi anggukan. Plastik kresek berwarna hitam yang dibawa, dia pegang dengan erat. Kakinya gemetaran dan hampir tidak berdaya.
"Bu, ada yang mau saya tanyakan. Tapi sebelumnya jangan menuduh, ya, Bu," ucapnya dengan nada pelan.
"Ada apa, Har? Tumben begini."
Hartina membukakan plastik dan menunjukkan isinya pada bu kadus. Sedikit pun wanita itu tidak terkejut. Malah memberikan senyuman simpul.
"Zahra ... jelaskan sini, Nak." Bu kadus memanggil putrinya yang baru datang dari kota. Beliau bekerja di sebuah perusahaan dengan jabatan manager.
"Jelasin apa, Ma?"
"I-ini apa, Nak?" tanya Hartina ragu.
Gadis itu tertawa kecil. Barulah dia percaya dengan ucapan mamanya, kalau Hartina bukan wanita yang suka mengambil kesempatan. Sungguh mulia sekali hatinya. Jarang-jarang menemukan jiwa jujur seperti ibunya Guntur.
"Bu ... ambil aja uang itu. Tadinya aku nggak mau kalau Ibu tahu siapa yang memberikannya. Memang, tadi Mama bilang juga, cuma aku pikir ibu pasti tidak akan datang ke mari lagi," terang Zahra.